Jumat, 04 Desember 2009

MENJADIKAN PALANGKARAYA SEBAGAI RIVER FRONT CITY

Ide menjadikan Palangkaraya sebagai “Metropolitan Riverfront City” sebenarnya seperti mengembalikan permukiman di Kalimantan Tengah ke awal pembentukannya. Sebab secara kultural, terbentuknya permukiman di Kalimantan Tengah memang berawal tepi sungai. Pembangunan yang dilaksanakan kemudianlah yang menggeser sentra kehidupan masyarakat dari sungai ke darat. Alhasil, kota-kota kita tidak lagi ”menghadap” ke sungai, tetapi menjadikan sungai sebagai bagian belakang. Ketika banyak negara maju memoles kotanya dengan sebutan tersebut, kita pun terkesima dan mencoba lagi memandang ke sungai.

Menjadikan sebuah kota sebagai “water front city” sebenarnya bukan karena kota itu berada di pinggir sungai dan sekedar menata bantaran sungainya. Lebih jauh bagaimana menjadikan kembali sungai sebagai “urat nadi” dan “bagian depan” atau “wajah” sebuah kota. Ada keterikatan penting antara penataan pinggiran sungai dengan budaya setempat dan aktivitas yang terkait dengan sungai itu. Tanpa itu, penataan pinggiran sungai hanya seperti konsep yang ditempelkan saja, tetapi tidak memiliki kesatuan dan “ruh” dalam kehidupan sebuah kota.

Bagaimana menata kawasan flamboyan sebagai “ water front metropolitan city” yang dapat menjadi landmark bagi Kota Palangkaraya menjadi tantangan tersendiri. Sebab selain memiliki sejumlah potensi, juga tersedia sejumlah tantangan yang tidak kecil. Diantara tantangan itu adalah sebuah “keterlanjuran” yang selama ini membiarkan kekumuhan berlangsung di tepi sungai sehingga ada kesan bahwa pinggiran sungai menjadi terpinggirkan.

Sebagaimana kita ketahui kota ini memiliki luas wilayah 2678,51 km².Kota ini dibangun pada tahun 1957 (UU Darurat No. 10/1957 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Tengah) dari hutan belantara yang dibuka melalui Desa Pahandut di tepi Sungai Kahayan. Palangkaraya merupakan kota dengan luas wilayah terbesar di Indonesia. Sebagian wilayahnya masih berupa hutan, termasuk hutan lindung, Konservasi Alam, serta Taman Nasional Tangkiling.Kota Palangka Raya yang dikelilingi oleh banyak pepohonan menjadikan kota ini mempunyai nuansa seperti gabungan antara hutan, perkotaan dan pedesaan.

Dengan kondisi ini sebenarnya belum terlambat benar untuk menata Kota Palangkaraya dalam konsep tersebut, terutama untuk daerah flamboyan bawah yang didukung oleh keberadaan Pelabuhan Rambang, Tugu Sukarno, dan Kawasan Jembatan Kahayan. Tiga lokasi ini dapat menjadi ikon yang menarik dan mempunyai “nilai jual” yang dapat dipromosikan ke luar daerah atau luar negeri. Apalagi jika ditambah keberadaan Tangkiling dan arboretum orang utan. Maka peluang Palangkaraya untuk menjadi tujuan wisata dengan menjual budaya dan lingkungan (ecoculture tourism) menjadi cukup menarik.

Kawasan tersebut juga memiliki lahan yang relatif luas dengan panorama yang cukup bagus. Apalagi jika hutan-hutan yang ada di daerah tersebut, terutama di seberangnya dapat dipertahankan dan dilegalkan sebagai ”hutan kota”. Bangunan-bangunan yang ada didaerah pinggiran sungai umumnya juga merupakan bangunan non-permanen ataupun semi permanen yang jika dilakukan penataan, biaya gantiruginya relatif lebih murah. Hanya saja masalahnya bagaimana penataan itu tidak mengorbankan para pemukim disana tetapi menjadikan mereka sebagai bagian dari konsep penataan itu sendiri. Untuk itu dapat dilakukan gerakan “konsolidasi tanah” yang juga pernah diterapkan di Palangkaraya dan dianggap sukses oleh Badan Pertanahan Nasional.

Adanya titian ulin yang menghubungkan rumah-rumah di “daerah bawah” flamboyan dapat menjadi ciri tersendiri yang harus dipertahankan sebagai kekhasan yang jarang ditemui di daerah lain. Sangat disayangkan mengubah pelabuhan rambang menjadi beton, hal yang semestinya dapat ditata dengan tetap menjaga kekhasan dermaga ulin itu dengan memolesnya menjadi lebih baik. Yang patut ditata adalah kawasan diseberang jalan pelabuhan rambang. Lahan kosong dan warung yang ada dikawasan tersebut dapat ditata menjadi ruang terbuka hijau yakni taman tempat bersantai. Apalagi dekat dengan kawasan itu, banyak hotel dan penginapan.

Tantangan terbesar dalam penataan kawasan tersebut adalah bagaimana konsep yang disusun bukan hanya menjadi “political will” semata. Lebih jauh bagaimana konsep yang disusun kelak dapat menjadi sebuah perencanaan yang dilaksanakan. Kelemahan utama dalam pembangunan di Indonesia bukan hanya pada perencanaannya yang tidak terpadu, tetapi juga pada tahap implementasinya. Lebih sulit lagi adalah menegakkan konsistensi dari rencana yang telah dibuat, terutama jika proyek ini akan menjadi proyek jangka panjang yang melewati pergantian beberapa walikota atau gubernur. Ini menjadi tantangan penataan kota di Indonesia secara umum dan bukan hanya di Palangkaraya.

Tidak ada komentar: