Tata kelola pemerintahan merupakan frasa birokratis yang sering digunakan oleh diplomat dan lembaga swadaya masyarakat yang bekerja di Malaysia dan Indonesia. Maksudnya adalah mengenyahkan tangan politikus dan kroninya dari kantong masyarakat miskin serta mengizinkan masyarakat mengawasi kebijakan pemerintah dan memperdebatkannya secara bebas.
“Pengelolaan pemerintahan nyaris menentukan semuanya, yang bermakna, jika kita salah melakukannya, hal lain tak ada artinya,” ujar Frances Seymour dari Center for International Forestry Research (CIFOR), sebuah organisasi internasional yang berkantor pusat di Indonesia dan menekuni pelestarian hutan dan perbaikan kehidupan masyarakat di daerah tropik.
Sudah ada kemajuan yang membesarkan hati di Indonesia – setidaknya di tingkat atas pemerintahan – terutama sejak 2004., ketika Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden. Berita yang lebih baik muncul 2005, ketika Jenderal Sutanto diangkat sebagai Kapolri. “Tidak ada kepala penegak hukum lain di dunia yang membuat kemajuan seperti dia,” kata seorang staf senior AS di Jakarta.
Ratusan penangkapan terhadap kegiatan pembalakan liar telah dilakukan sejak saat itu, tidak hanya membidik pekerja lapangan (yang mungkin hanya menerima delapan belas ribu rupiah sehari), namun juga, terkadang pejabat pemerintah dan pembeli kayu tingkat menengah.
Taman nasional Gunung Palung di Kalimantan Barat yang dulu pernah menjadi cerita seram tentang perburuan dan pembalakan liar telah mengalami perubahan besar berkat direkturnya yang jujur dan berdedikasi, beserta pasukan jagawana yang berpatroli dengan pesawat ultra ringan dan perahu motor.
Pada tingkat nasional, banyak menteri Indonesia yang mendapat nilai tiinggi atau setidaknya lulus pas-pasan, dalam hal dedikasi mereka bagi reformasi. “Namun begitu, saya jamin di desa ini pasti mustahil meminta aparat polisi melalukan sesuatu tanpa dimintai sogokan,” tutur seseorang yang terkait dengan kelompok konservasi kecil yang minta namanya tidak disebut.
Di beberapa kabupaten kota kabupaten, hasil paling nyata dari otonomi adalah kantor pemerintahan baru yang mentereng; yang terlihat berikutnya adalah rumah baru yang mentereng milik bupati. “Tantangannya,” ujar Frances Seymour, “adalah bagaimana cara membantu masyarakat dan pemerintah daerah mengambil keputusan yang lebih baik untuk jangka panjang karena yang terjadi sekarang adalah hanyalah masa panen uang yang singkat, sementara sepuluh tahun dari sekarang pekerjaan tak akan ada lagi tersedia dan sumber pendapatan juga akan mongering.” Sedangkan wilayah pedalaman Indonesia akan tetap miskin seperti sedia kala.
Biarpun gedung pencakar langit yang menakjubkan bermunculan di Jakarta, biarpun mobil-mobil baru berjejalan di jalan, fakta penting yang mempengaruhi pelestarian di Kalimantan adalah kemiskinan ekstrem pada sebagian besar orang Indonesia yang mendiami tiga perempat pulau tersebut. Apapun strategi yang dipakai para pakar lingkungan untuk menyelamatkan keanekaragaman hayati Kalimantan, harus lebih dahulu memberi jalan kepada penduduknya untuk meningkatkan taraf hidup.
“Tak ada yang lebih penting dari rasa lapar,” ujar Albertus dari Green Borneo, kelompok yang berbasis di Pontianak. “Kesehatan yang lebih baik, pendidikan yang lebih baik, kondisi ekonomi yang lebih baik – itu yang akan membantu melindungi hutan.
Jadi, begini pesan bagi dunia. Jika kita ingin melindungi hutan Kalimantan, melestarikan bagian yang essensial dari keanekaragaman hayatinya yang mengagumkan, menjamin bahwa orangutan punya tempat untuk membuat sarang setiap malam, dan burung enggang punya buah untuk dimakan, katak terbang punya pohon untuk tempat tinggal, hanya ada satu cara melakukannya. Cara yang menawarkan masa depan yang lebih baik, tanpa harus mengubah hutan menjadi perkebunan kelapa sawit atau lubang-lubang steril tambang terbuka. Dan kita harus melakukannya saat masih ada yang bisa dilindungi.
(sumber : National Geographic Indonesia – November 2008)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar