1.1. Latar Belakang
Pembangunan pada dasarnya perbaikan kesejahteraan masyarakat terus menerus, sepanjang waktu, ditandai pertumbuhan ekonomi yang positif. Pertumbuhan ini hanya akan berkelanjutan jika sumber-sumber pertumbuhan terjaga sepanjang waktu. Salah satu yang terpenting adalah sumberdaya alam selain sumberdaya manusia. Oleh karena itu, sangat penting menjaga kelestarian sumber daya alam bagi kemaslahatan generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Sejak awal pembangunan, bangsa Indonesia bertumpu pada pemanfaatan sumberdaya alam secara intensif. Namun, agenda pelestarian sumberdaya alam, termasuk pelestarian lingkungan, belum menjadi titik perhatian yang serius dalam masalah pembangunan.
Permasalahan pemanfaatan sumberdaya alam selalu tidak lepas dari keadilan/ pemerataan antar generasi, generasi sekarang dibandingkan dengan generasi yang akan datang, selain keadilan/pemerataan intragenerasi - antar kelompok masyarakat di suatu waktu tertentu. Sumberdaya alam pada dasarnya adalah warisan dan generasi sebelumnya yang bisa dimanfaatkan oleh generasi sekarang. tetapi bukan untuk dihabiskan karena didalamnya ada hak generasi selanjutnya. Oleh karena itu, penting sekali agar sumber daya alam dikelola secara bekesinambungan dalam proses jangka paajang agar dapat mewariskannya kepada generasi yang akan datang.
Masalah sumberdaya alam dan lingkungan merupakan permasalahan yang harus ditempatkan sebagai permasalahan jangka panjang. Pemanfaatan sumber daya alam yang hanya dilihat sebagai kepentingan jangka pendek niscaya hanya akan merugikan generasi sekarang, apalagi generasi yang akan datang. Eksploitasi sumberdaya alam yang di luar ambang batas, sungguh nyata akan sangat berpengaruh di masa yang akan datang. Walaupun. di masa sekarang, dampaknya sedikit mulai terlihat seperti curah hujan berlebih, namun dampak terbesar akan dirasakan ganerasi yang akan datang.
Pemanfaatan sumberdaya alam yang dapat diperbarui (renewable) hendaknya tetap menjaga agar capital stock sumberdaya alam tersebut terjaga dan selalu berada dalam titik optimum. Sedangkan, strategi pemanfaatan sumberdaya alam tidak dapat diperbarui (non-renewable) hendaknya melalui pemakaian dengan tingkat efisiensi yang tinggi dan berusaha mencari substitusinya.
Kebijakan pemanfaatan sumberdaya alam harus memiliki visi makro untuk menciptakan ekologi yang sustainable. Sedangkan visi mikronya adalah menjaga jenis-jenis keanekaragaman yang sustainable. Selain itu, pemanfaatan sumbedaya alam juga harus memiliki rasa keadilan intra generasi (antar kelompok masyarakat) saat ini dan keadilan antar generasi. Menempatkan permasalahan sumberdaya alam sebagai permasalahan jangka panjang. pada akhirnya, akan bermuara pada dimensi keadilan antargenerasi. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut tidak sepenuhnya dapat menguraikan mekanisme pasar. Karena pasar memiliki beberapa kelemahan dan tidak bisa menyelesaikan semua masalah.
Kelemahan tersebut adalah kegagalan pasar yang ditandai ekssternalitas dan barang publik (public goods). Permasalahan mi mengakibatkan harga sumberdaya alam menjadi lebih murah (under pricing) karena tidak memasukkan unsur deplesi. Begitu pula dengan barang-barang industri, harganya lebih murah karena tidak memasukkan unsur eksternalitas negatif, seperti polusi misalnya. Oleh karena itu, diperlukan intervensi pemerintah untuk mengatasi kegagalan pasar tersebut.
Instrumen pemerintah untuk mengatasi ekstemalitas negatif adalah pengenaan pajak untuk kompensasi pencemaran lingkungan bagi industri-industri yang mengeluarkan limbah perusak lingkungan selain itu dilakukannya syarat-syarat pengelolaan lingkungan bagi perusahaan yang melaksanakan kegiatan usahanya dalam mekanisme Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) maupun Upaya Pemantauan Lingkungan/Upaya Pengelolaan Lingkungan (UPL/UKL).
Paradigra lama dalam mengatasi masalah sumber daya alam dan lingkungan yang hanya mengandalkan mekanisme pasar dan intervensi pemerintah untuk mengatasi ketidaksempurnaan pasar sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Karena keterbatasan pemerintah dalam kemampuan personal dan penguasaan informasi. Sehingga, penguatan stakeholders yg merasakan dampak kerusakan lingkungan dan sumberdava alam perlu dilakukan. Termasuk menggali nilai-nilai setempat yang sering disebut kearifan lokal (local wisdom) untuk dijadikan pendukung pengelolaan lingkungan hidup yang lestari.
1.2. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui dan menelaah sejauh mana kearifan lokal dapat mendukung pengelolaan sumberdaya alam serta melihat kemungkinan membangun model untuk melaksanakan hal tersebut.
1.3. Metode Penulisan
Penulisan dilakukan secara diskriptif dengan menggunakan sumber pustakan dan sumber lain yang relevan.
II. KEARIFAN LOKAL
2.1. Pembangunan dan Kearifan Lokal
Pembangunan sebagai suatu proses pada hakikatnya merupakan pembaharuan yang terencana dan dilaksanakan dalam tempo yang relatif cepat, tidak dapat dipungkiri telah membawa kita pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pertumbuhan ekonomi, peningkatan kecanggihan sarana komunikasi, dan sebagainya. Akan tetapi, pada sisi yang lain, pembangunan yang hanya dipandu oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomi dan keamanan, yang dalam kenyataannya telah meningkatkan kesejahteraan sebagian dari keseluruhan kehidupan masyarakat, telah pula menciptakan jarak yang lebar antara si kaya dan si miskin, antara kecanggihan dan keterbelakangan.
Oleh karena itu, penyimakan yang cermat dan seksama terhadap masalah-masalah budaya yang muncul mengiringinya merupakan suatu hal yang sama sekali tak boleh diabaikan. Dalam hal ini kebudayaan merupakan bagian yang fundamental dari setiap orang serta masyarakat, dan karena itu pembangunan yang tujuan akhirnya diarahkan bagi kepentingan manusia harus memiliki dimensi kebudayaan (Anwar, 2008).
Kebudayaan dan kearifan lokal sangat erat hubungannya dengan masyarakat, maknanya bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Kebudayaan dapat dipandang sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Selain itu, kebudayaan dapat diartikan pula sebagai suatu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Kearifan lokal sering diidentikkan dengan local wisdom, atau yang lebih tepat local knowledge. Kearifan lokal idealnya lebih pas disebut penemuan/temuan tradisi (invention of tradition). Hal ini dapat diuraikan bahwa invented tradition sebagai seperangkat aksi atau tindakan yang biasanya ditentukan oleh aturan-aturan yang dapat diterima secara jelas atau samar-samar maupun suatu ritual atau sifat simbolik, yang ingin menanamkan nilai-nilai dan norma-norma perilaku tertentu melalui pengulangan, yang secara otomatis mengimplikasikan adanya kesinambungan dengan masa lalu. Dalam hal ini yang dipentingkan adalah bagaimana kearifan lokal dapat memberikan kebermanfaatan yang berkelanjutan bagi masyarakat lokal seluas-luasnya yang menjadi pendukung kebudayaan setempat.
Diantara fenomena atau wujud kebudayaan, yang merupakan bagian inti kebudayaan adalah nilai-nilai dan konsep-konsep dasar yang memberikan arah bagi berbagai tindakan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila masalah ini menjadi agenda pembicaraan yang tidak henti-hentinya, terutama di tengah masyarakat yang sedang berkembang karena kebudayaan dalam keseluruhannya akan terkait juga dengan identitas masyarakat yang menghasilkannya. Masalah itu bahkan menjadi begitu penting jika dikaitkan dengan dan dimasukkan dalam perspektif membangun suatu daerah secara komprehensif.
Menggali dan menanamkan kembali kearifan lokal secara inheren dapat dikatakan sebagai gerakan kembali pada basis nilai budaya daerahnya sendiri sebagai bagian upaya membangun identitas suatu daerah, yang memiliki korelasi menciptakan langkah-langkah strategis dan nyata dalam memberdayakan dan mengembangkan potensi (sosial, budaya, ekonomi, politik dan keamanan) daerah secara optimal serta sebagai filter dalam menyeleksi berbagai pengaruh budaya dari luar.
Secara umum budaya lokal atau budaya daerah dimaknai sebagai budaya yang berkembang di suatu daerah, yang unsur-unsurnya adalah komunitas masyarakat yang tinggal di daerah itu. Dalam konteks desentralisasi/otonomi daerah, budaya lokal merupakan kekuasaan dan potensi riil yang dimiliki suatu daerah sebagai aset daerah yang mendorong pengembangan dan pembangunan daerah. Selanjutnya dalam usaha membangun daerah perlu dilakukan pemberdayaan budaya lokal yang mendukung penyusunan strategi budaya atau rumusan rencana kegiatan budaya di daerah sebagai landasan daerah di bidang budaya.
Budaya lokal dan desentralisasi adalah hubungan fungsional yang timbal balik, satu sisi budaya lokal sebagai potensi sosial budaya yang memberikan bahan kepada daerah untuk bisa digarap dan dimanfaatkan dan dari sisi desentralisasi daerah mempunyai kewenangan untuk mengolah potensi sosial budaya.
2.2. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Kearifan Lokal
Tidak dapat dihindari bahwa pada saat ini sedang terjadi pertarungan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Bumi
Masyarakat adat yang tinggal di beberapa kawasan yang tadinya mempunyai potensi sumberdaya alam terkadang hanya menjadi penonton pertarungan-pertarungan tadi. Bahkan sudah menjadi obyek dalam program pengeloaan sumberdaya alam dengan dalih pengembangan masyarakat sekitar hutan dan sebagainya. Jika sudah demikian situasinya apa yang harus dilakukan oleh ma-syarakat adat dalam mempertahankan eksistensinya sebagai komunitas yang mempunyai hak dan kontrol atas sumberdaya alam berdasar kearifan local atau kearifan tradisionalnya?
Pertanyaan ini mengandung makna refleksitas yang sangat dalam. Artinya sebelum menjawab itu masih ada pertanyaan lain sebelum pertanyaan itu ialah, Adakah kearifan lokal dalam hal pengelolaan sumberdaya alam yang dimiliki oleh leluhur atau masih adakah di antara kita yang mau mempertahankannya? Ataukah kita sendiri justru yang sudah menghancurkannya? Pertanyaannya ini juga berarti dibutuhkan suatu pemahaman, pencerahan bahkan pembelajaran kembali tentang kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sehingga harus ada langkah yang sinergis, konsep yang jelas serta kemampuan dan pengetahu-an untuk dapat membuktikannya. Tanpa sinergitas tidak akan ada hasil yang sinergis.
Masyarakat adat memiliki motivasi yang kuat dan mendapatkan insentif yang paling bernilai untuk melindungi hutan dibandingkan pihak-pihak lain karena menyangkut keberlanjutan kehidupan mereka. Masyarakat adat memiliki pengetahuan asli bagaimana memelihara dan memanfaatkan sumberdaya hutan yang ada di dalam habitat mereka. Masyarakat adat memiliki hukum adat untuk ditegakkan. Masyarakat adat memiliki kelembagaan adat yang mengatur interaksi harmonis antara mereka dengan ekosistem hutannya.
Sebagian dari masyarakat adat sudah memiliki organisasi dan jaringan kerja untuk membangun solidaritas di antara komunitas-komunitas masyarakat adat, dan juga mengorganisasikan dukung-an politis dan teknis dari pihak-pihak luar. Masyarakat adat dilindungi UUD 1945 dan diatur dalam beberapa instrumen internasional yang mengharuskan negara mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak individual (hak asal-usul menurut penjelasan (Pasal 18, UUD 45) yang sudah diamandemen.
Cara bekerja mereka dalam menjalankan tanggung jawabnya tidak tunggu komando,tidak menunggu Surat Keputusan baru mau bekerja, tidak menunggu Surat Perintah Tugas baru mau menjalankan tugasnya. Kewajiban menjaga dan memelihara alam tidak mutlak hanya berlaku dalam lembaga saja akan tetapi semua komponen yang ada dalam masyarakat .Di sinilah letak perbedaan antara kebijakan yang direncanakan oleh lembaga formal dan masyarakat adat dengan kearifan lokalnya dalam pemanfaatan sumberdaya alamnya.
Yang menjadi pergulatan saat ini adalah bagaimana mengembalikan kemampuan dan otoritas Masyarakat Adat/Kearifan Lokal untuk merencanakan, mengatur, mengawasi serta mengelolah Sumber-sumber daya Alamnya secara demokratis sehingga mampu mensejahterakan masyarakatnya sendiri. Pengembangan Kapasitas Lokal dibidang perekonomian, politik, sosial maupun budaya mempunyai arti sangat penting dimana hal-hal tersebut diatas sangat erat berkaitan satu sama lain.
Adalah merupakan perenungan dan perjuangan bahwa apa yang kita lakukan dalam menggali, mengkaji akan kearifan-kearifan itu serta peran kelembagaan tradisional bukan hanya sekedar revitalisasi atau refungsionalisasi, tetapi juga adalah bagaimana menata kembali kelembagaan/pranata sosial tradisional tadi dengan memperhatikan kondisi yang ada pada saat ini. Disamping itu dikalangan masyarakat adat sendiri perlu adanya pembelajaran, pencerahan dalam upaya memperjuangkan kearifan Lokal untuk dapat diakomodasi dalam kebijakan pemerintah menyangkut Pengelolaan Sumberdaya alam, agar tidak terjadi benturan kepentingan disana.
Sinergitas dari seluruh kekuatan sosial masyarakat sangat dibutuhkan selain konsep yang jelas dan terukur. Air yang yang menetes apabilah disatukan akan menjadi sungai yang besar dan mengalir mengikuti lekukan kaki gunung serta ngarai yang dalam menuju muara yang besar, danau ataupun samudera luas.
Perjalanan kita masih panjang dan membutuhkan komitmen yang kuat dan tulus dari kita untuk melakukannya oleh karenanya memerlukan semacam model yang dapat dijadikan rujukan dalam menerapkan kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam kita sehingga terwujud pengelolaan yang lestari dalam arti dapat dimanfaatkan terus tanpa kehilangan fungsinya, baik secara ekonomis maupun secara ekologis.
2.3. Merasionalkan Kearifan Lokal
Inti permasalahan pengelolaan sumberdaya alam adalah hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya disebut ekologi. Konsep sentral dalam ekologi disebut ekosistem, yaitu suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan alam lingkungannya (Soemarwoto, 1986).
Menurut pengertian di atas, suatu ekosistem terdiri dari komponen ekologi yang bekerja secara teratur sebagai satu kesatuan yang saling mempengaruhi dan dan saling ketergantungan satu dengan yang lainnya. Ekosistem terbentuk oleh komponen sumber daya alam hayati maupun non hayati pada suatu ruang dan tempat, yang berinteraksi dan membentuk kesatuan yang teratur dan saling mempengaruhi, sehingga secara terintegrasi membentuk suatu sistem kehidupan dalam alam semesta ini. Cara untuk memahami masalah lingkungan hidup seperti ini dikenal sebagai pendekatan ekosistem (ecosystem approach).
Dalam kaitan ini, manusia adalah komponen makhluk hidup yang paling sentral dan krusial, karena manusia adalah bagian dari unsur makhluk hidup yang paling sempurna jika dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain seperti satwa dan tetumbuhan; manusia memiliki hati nurani, dianugerahi kemampuan untuk berpikir, berkehendak, bersikap, berbicara, maupun bertindak dan berinteraksi dengan lingkungannya.
Dalam interaksinya, manusia mengamati dan melakukan adaptasi serta memperoleh pengalaman, dan kemudian mempunyai wawasan tertentu tentang lingkungan hidupnya. Wawasan manusia terhadap lingkungannya inilah yang disebut sebagai citra lingkungan (enviromental image), yang menggambarkan persepsi manusia tentang struktur, mekanisme, dan fungsi lingkungannya, juga interkasi dan adaptasi manusia termasuk respons dan reaksi manusia terhadap lingkungannya. Intinya, citra lingkungan memberi petunjuk tentang apa yang dipikirkan dan diharapkan manusia dari lingkungannya, baik secara alamiah maupun sebagai hasil tindakannya, dan tentang apa yang patut atau tidak patut dilakukan terhadap lingkungannya. Pola berpikir inilah kemudian membentuk etika lingkungan (environmental ethic) dalam kehidupan manusia.
Dari satu sisi, citra lingkungan dapat didasarkan pada ilmu pengetahuan seperti terpola dalam masyarakat ilmiah di negara-negara maju, dengan alam pikirnya yang bercorak rasionalistik dan intelektualistik. Namun, dari sisi lain citra lingkungan lebih dilandasi oleh sistem nilai dan religi seperti berkembang dalam alam pikir masyarakat yang masih sederhana dan bersahaja di negara-negara sedang berkembang. Karena itu, yang disebut pertama dikenal sebagai citra lingkungan masyarakat modern, sedangkan yang disebut terakhir dikenal sebagai citra lingkungan masyarakat tradisional (Nurjaya, 2008).
Citra lingkungan masyarakat tradisional, seperti yang berkembang dalam masyarakat di negara-negara sedang berkembang lebih bercorak magis-kosmis. Menurut alam pikir magis-kosmis, manusia ditempatkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari alam lingkungannya; manusia dipengaruhi dan mempengaruhi serta memiliki keterkaitan dan ketergantungan dengan lingkungannya, sehingga wawasannya bersifat menyeluruh, holistik, dan komprehensif.
Corak wawasan holistik membangun kesadaran bahwa kesinambungan hidup manusia sangat tergantung pada kelestarian fungsi dan keberlanjutan lingkungannya. Lingkungan harus diperlakukan dan dimanfaatkan secara bijaksana dan bertanggungjawab sesuai dengan daya dukung (carrying capacity) dan kemampuannya agar tidak menimbulkan malapetaka bagi kehidupan manusia. Hal ini karena hubungan manusia dengan lingkungannya bukanlah merupakan hubungan yang bersifat eksploitatif, melainkan interaksi yang saling mendukung dan memelihara dalam keserasian, keseimbangan, dan keteraturan yang dinamis.
Citra lingkungan seperti digambarkan di atas senada dengan citra lingkungan yang berpangkal dari alam pikir masyarakat hukum adat yang bercorak religio-magis. Masyarakat hukum adat mengidentifikasi dirinya sebagai bagian yang terintegrasi dengan alam semesta dalam hubungan yang saling terkait, tergantung, dan saling mempengaruhi. Yang paling utama adalah bagaimana menciptakan hubungan yang selaras, serasi, dan seimbang, sehingga tercipta suasana harmoni antara manusia dengan lingkungannya. Jadi, secara bersahaja dapat dikatakan bahwa citra lingkungan manusia Indonesia terbentuk dan terbina dari citra lingkungan masyarakat hukum adat.
Secara empiris dapat dicermati bahwa citra lingkungan masyarakat hukum adat sering tampaknya tidak rasional, bersifat mistis, karena selain bertalian dengan kehidupan di alam nyata (skala) juga erat kaitannya dengan pemeliharaan keseimbangan hubungan dalam alam gaib (niskala). Namun demikian, citra lingkungan tradisional tidak berarti menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan hidup, tetapi justru menciptakan sikap dan perilaku manusia yang serba religius dan magis terhadap lingkungannya, dalam bentuk praktik-praktik pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang bijaksana dan bertanggungjawab. Inilah esensi dan ekspresi dari kearifan masyarakat hukum adat terhadap lingkungan hidupnya.
Kearifan lingkungan masyarakat adat pada hakikatnya berpangkal dari sistem nilai dan religi yang dianut dalam komunitasnya. Ajaran agama dan kepercayaan masyarakat lokal menjiwai dan memberi warna serta mempengaruhi citra lingkungannya dalam wujud sikap dan perilaku terhadaap lingkungannya. Hakikat yang terkandung di dalamnya adalah memberi tuntunan kepada manusia untuk berperilaku yang serasi dan selaras dengan irama alam semesta, sehingga tercipta keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya.
Kendatipun sering tampak tidak rasional dan tidak logis, tetapi secara nyata perilaku terhadap alam dengan pola-pola tindak yang bercorak mistis dan magis tersebut menciptakan kelestarian dan keberlanjutan lingkungan hidup. Perilaku masyarakat yang menetapkan tempat-tempat tertentu di kawasan sungai, sumber air, danau, bukit, gunung, hutan, pohon besar, pantai, laut, dll. sebagai tempat yang angker, keramat, sakral, merupakan strategi yang efektif untuk melindungi dan melestarikan sumber daya alam hayati maupun non hayati dari tindakan negatif manusia, sehingga fungsi hidro-orologis dari hutan, sungai, danau, sumber air dan penyedia sumber daya genetis bagi kehidupan subsisten manusia tetap terjaga secara berkelanjutan.
Menurut alam pikir masyarakat adat yang bercorak religius-magis, alam semesta (jagadhita) ini dihuni oleh roh-roh yang bertugas menjaga keseimbangan struktur, mekanisme, dan irama alam. Jika perilaku manusia menjadi serakah, merusak keseimbangan alam, atau sudah tidak akrab dan selaras lagi dengan irama alam, maka akan terjadi gangguan, ketidakselarasan, dan kegoncangan dalam alam semesta, dalam wujud gempa bumi, gunung meletus, wabah penyakit, angin topan, banjir, kekeringan, badai, tanah longsor, kebakaran, sambaran petir, dll. sebagai pengejawantahan dari kemarahan roh-roh penjaga alam tersebut.
Fenomena alam seperti di atas tentu dapat dipahami menurut alam pikir modern, karena secara ilmiah malapetaka tersebut wajar terjadi akibat dari perlakuan dan perilaku manusia yang buruk, tidak selaras, mencemari, atau merusak lingkungan hidup sehingga menimbulkan kegoncangan irama alam semesta.
Secara empiris pola kepercayaan masyarakat adat seperti di atas mampu dan efektif untuk mengendalikan perilaku manusia yang cenderung serakah untuk menguasai dan mengeksploitasi sumber daya alam secara semena-mena. Karena itu, sungguh menjadi tidak bijaksana bila ada sebagian orang yang selalu mencela dan mendeskreditkan pola pikir dan tindak masyarakat adat yang secara sadar mempertahankan nilai, religi, tradisi, dan norma-norma hukum adat untuk menjaga keseimbangan magis dan keteraturan sosial dalam lingkungan komunitasnya. Justru kita semestinya perlu empati dan belajar dari pola pikir dan pola tindak masyarakat adat dalam memperlakukan dan memanfaatkan alam lingkungannya, agar kinerja pengelolaan sumber daya alam dalam pembangunan lebih bernuansa manusiawi (Nurjana, 2008).
III. KEARIFAN MASYARAKAT DAYAK MERATUS SEBAGAI MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM LESTARI
3.1. Pegunungan Meratus
Pegunungan Meratus merupakan kawasan hutan alami yang letaknya membentang dari arah Tenggara sampai Utara berbatasan dengan provinsi Kalimantan Timu dan diperkirakan luasnya lebih dari sejuta hektar. Seperti umumnya kawasan pegunungan, kawasan ini termasuk ekosistem yang ringkih (fragile ecosystem) dan juga merupakan ecological sensitive area, yang menuntut ekstra hati-hati dalam pembangunan kawasan (PKPA III, 2006).
Lanskap Pegunungan Meratus berupa daerah berbukit-bukit yang sangat beragam dari sedang-terjal-sangat terjal dan beragam pula formasi ekosistem yang membentuknya. Sebagian besar kawasannya masih ditutupi oleh hutan alami mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi yang didominasi oleh formasi hutan campuran dipterocarpaceae perbukitan bawah-atas dan hutan hujan pegunungan.
Secara administratif, kawasan ini berada pada 10 dari 13 provinsi di Kalimantan Selatan yaitu Kabupaten Tabalong, Balangan, Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Tapin, Banjar, Tanah Laut, Tanah Laut, dan Pulau Laut. Sebagian kecil wilayah yang lain masuk dalam wilayah Kalimantan Timur.
Pegunungan Meratus merupakan bentangan pegunungan yang memiliki beberapa puncak gunung yakni Gunung Besar/Halau-halau Laki (1.892 m), Gunung Kilai (1.640 m), Gunung Batu Berangkup (1.154 m), Gunung Sangsarahim (1.153 m), Gunung Besar Bini (1.760 m), Gunung Panginangan (1.450 m) serta gunung-gunung lainnya yang berjumlah sekitar 28 gunung. Pegunungan ini mewarisi nilai keragaman hayati yang sangat tinggi dan penting secara lokal, regional, maupun internasional.
3.2. Kepemilikan dan Pengelolaan Tanah
Hutan merupakan bagian dari lingkaran kehidupan masyarakat Dayak Meratus, seperti juga tanah, air, ladang, palawija, dan makhluk hidup di sekitarnya. Memnbicarakan hutan dan sumberdaya lain dalam konteks masyarakat dayak tidak bisa dipisahkan dari pembicaraan tentang ”tanah”. Dalam masyarakat dayak meratus, tanah adalah asal muasal manusia, sehingga ia mendapat penghormatan yang tinggi dan merupakan harta kekayaan yang tidak bisa diperlakukan secara sembarangan. Hubungan ini menciptakan tatacara tertentu untuk mencapai keseimbangan hidup untuk mencapai keseimbangan hidup dalam interaksi manusia dengan alamnya, yang oleh masyarakat dayak Meratus disebut sebagai ”Aruh”(PKPA III, 2006).
Memiliki tanah yang luas merupakan anugerah bagi Masyarakat Meratus. Mereka mengandalkan sumberdaya alam setempat dan mengambil secukupnya yang mereka butuhkan. Karena itu setiap umbun memiliki jatah tanah masing-masing enam payah (lebih kurang tiga hektar) tanah dan jika perlu dan mampu boleh mengelola lebih dari itu.
Sistem kepemilikan tanah masyarakat Dayak Meratus didasarkan pada kesepakatan dan kepercayaan dalam aturan adat tanpa menggunakan bukti tertulis. Jadi meskipun tanah tersebut secara turun temurun dimiliki oleh masyarakat Dayak Meratus, tidak satu pun dari mereka memiliki surat kepemilikan tanah. Batas-batas tambit (kepemilikan tanah) yang digunakan adalah penanaman tanaman keras seperti karet atau kayu manis, rumpun bambu, atau kayu lurus, batang pinang, dan sungai. Penentuan batas ini merupakan kesepakatan antar pemilik-pemilik lahan yang berbatasan langsung sehingga tidak timbul masalah di kemudian hari.
Secara garis besar, sistem kepemilikan lahan digolongkan berdasarkan pewarisan, perkawinan, jual beli, dan sistem sewa. Berdasarkan pewarisan, pembagian tanah yang dilakukan oleh orangtua kepada anak-anaknya lebih melihat kepada seberapa besar kemampuan masing-masing anak mampu mengelola lahan , tanpa membedakan jenis kelamin.
Melalui perkawinan, kepemilikan tanah dapat juga diberikan apabila salah satu warga menikah dengan orang luar dan memilih untuk tetap tinggal dalam kawasan balai tersebut, maka kepadanya diberikan izin untuk mengelola tanah dalam wilayah tersebut.
Jual beli juga menjadi salah satu mekanisme yang dikenal oleh masyarakat dayak Meratus dimana jual beli bisa dilakukan tetapi sebatas hanya antar masyarakat dayak yang tinggal dalam satu balai. Sedangkan sewa menyewa lahan harus dengan persetujuan Kepala Padang dan hanya boleh ditanami palawija atau tanaman berjangka pendek lainnya. Syarat pembayaran sewa adalah bagi hasil atas panenan yang diperoleh penyewa dengan perbandingan satu bagian untuk pemilik tanah dan tiga bagian untuk penyewa. Kepemilikan tanah bisa menjadi hilang apabila si pemilik tanah meninggal dunia, tanah dihumai oleh orang lain karena pemilik lama meninggalkan balai dan lahan atau tanahnya tidak ditanami tanaman keras, dan tentu saja jika tanah tersebut dijual.
Masyarakat dayak Meratus mengenal perbedaan bentuk permukaan bumi, terutama berkaitan dengan pembagian peruntukan pengelolaan lahan. Berdasarkan kesepakatan masyarakat dalam suatu balai, wilayah adat dalam satu balai dibagi menjadi beberapa kelompok penggunaan lahan. Sebagian besar dari kawasan adat merupakan katuan (hutan) larangan. Hutan ini tidak boleh digunakan untuk bahuma (bertanam) karena dipercayai sebagai kediaman leluhur masyarakat balai. Katuan merupakan kawasan hutan yang sama sekali tidak boleh ditebang, tetapi hasil hutan selain kayu masih bisa diambil oleh masyarakat. Katuan larangan ini letaknya di gunung-gunung pada ketinggian diatas 700 meter dari permukaan laut dan merupakan daerah perlindungan. Selain bagi tumbuhan dan hewan, di dalamnya juga sebagai daerah penyedia sumber air bagi masyarakat setempat.
Selain katuan larangan ada pula katuan adat atau hutan adat. Hutan ini merupakan milik adat yang sebagian bisa dibuka untuk pahumaan dan masyarakat boleh memanfaatkan kayu di dalamnya untuk memenuhi kebutuhan membangun rumah dan kayu bakar. Kawasan ini juga bisa ditanami tanaman perkebunan atau kayu keras oleh semua masyarakat di dalam balai, setelah mereka tidak bahuma di situ. Bagian katuan adat yang semacam ini disebut dengan jurungan atau wilayah bekas pahumaan yang ditinggalkan dan suatu waktu akan dibuka kembali.
Masyarakat Dayak Meratus juga mengenal katuan keramat yang merupakan tempat pemakaman bagi leluhur. Kawasan ini tidak boleh dimanfaatkan untuk apapun selain makam. Katuan keramat ini biasanya terletak di gunung atau munjal.
Pembagian lainnya adalah kawasan kebun gatah (karet) dan ladang. Kebun gatah adalah kawasan yang khusus ditanami karet untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat setempat, sedangkan ladang adalah kawasan yang ditanami dengan tanaman jangka pendek (padi, cabe, mentimun, palawija, dan sebagainya). Ladang biasanya dibuka di daerah taniti atau datar.
Hanya sebagian kecil wilayah adat berupa kampung yang merupakan daerah permukiman dengan luas lebih kurang dua hektar, termasuk di dalamnya balai adat. Kampung biasanya terletak di datar (lembah) ataupun taniti yang merupakan daerah yang relatif landai.
Bagi Masyarakat Dayak Meratus, mengetahui daerah-daerah yang boleh dan tidak boleh dikelola merupakan suatu keharusan, agar tidak ada salah pengambilan wilayah kelola dan untuk menghindari kutuk dari leluhur mereka. Dalam wilayah adat mereka, pengaturan pemanfaatan lahan ini ditangani oleh seorang Kepala Padang yang secara kelembagaan berada di bawah Balian (Kepala Adat).
Pemilihan daerah pahumaan tidak boleh dilakukan secara sembarangan tetapi ada perhitungan-perhitungan khusus menurut kearifan mereka, mengingat ladang merupakan sumber pangan yang penting bagi kehidupan masyarakat dayak. Pemilihan lahan yang kurang tepat akan mempengaruhi hasil panen. Pertemuan untuk memilih lahan bisa berlangsung berbulan-bulan dengan memperhitungkan banyak hal dengan cermat misalnya kemiringan lahan, kesuburan tanah dengan indikator berupa warna atau jenis tumbuhan tertentu sebagai penciri.
Sebagai masyarakat peladang, orang dayak yang sudah sangat lama mendiami pegunungan meratus memiliki pengetahuan yang sangat baik tentang musim kemarau dan musim hujan. Pengetahuan local spesific ini sangat menentukan irama kehidupan orang dayak yang terus bergerak mengikuti perubahan musim. Ketika musim memasuki kemarau, aktivitas masyarakat mulai disibukkan dengan kegiatan pengolahan tanah seperti menetapkan lahan, menebas dan menebang pohon. Sedangkan saat musim kemarau beralih kemusim hujan, proses pengolahan tanah harus sudah selesai karena harus mulai menanam padi.
Ketergantungan pertanian kepada musim yang sangat tinggi inilah yang membuat mereka berhati-hati sekali dalam membaca perubahan musim. Ketika proses pengolahan tanah terlambat sampai memasuki musim hujan maka perladangan akan mengalami kegagalan, sebab proses pembakaran tidak dapat dilakukan. Kalau lahan tidak bisa terbakar, berarti mereka tidak bisa menugal.
Dalam menghadapi hambatan alam dalam berladang sekaligus menjaga katuan adat, masyarakat dayak meratus mengembangkan perladangan ”gilir balik” atau biasa yang dikenal sebagai perladangan berpindah. Setelah membuka payah (ladang) dengan menebang dan membakar, mereka akan menanaminya dengan padi atau palwija satu hingga tiga kali tanam untuk mengatasi ketidaksuburan tanah dan menghindari erosi. Mereka kemudian akan kembali ke payah (ladang) yang dibuka pertama kali untuk memberi waktu pemulihan kesuburan dan tumbuhnya pepohonan setelah 10 hingga 15 tahun.
3.3. Kedudukan Hutan dalam Masyarakat Dayak Meratus
Kedudukan hutan sebagai nafas kehidupan masyarakat adat Dayak Meratus bertimbal balik dengan kesadaran mereka menjaga dan memelihara hutan dengan baik. Hutan menjadi landasan ideologi, sosial, dan sekaligus sumber penunjang perekonomian mereka. Mereka percaya bahwa Jubata Duwata (tuhan) dalam sistem kepercayaan masyarakat dayak Meratus akan mengutuk mereka yang menghancurkan hutan. Sehingga dalam Dayak Meratus, manusia dan hutan adalah satu kesatuan yang saling memberikan perlindungan.
Pemanfaatan hutan dan isinya diatur dalam hukum adat yang mereka sepakati, bahkan diberlakukan sanksi adat bagi pelanggarnya yang diputuskan oleh Kepala Wilayah (Damang). Aturan ini tergambar dalam sanksi adat bagi mereka yang menebang pohon dengan sembarangan atau melakukan perbuatan yang merugikan orang lain di seluruh wilayah adat Pegunungan Meratus. Menebang pohon buah-buahan didenda oleh adat dan dibayarkan kepada yang bersangkutan. Menebang pohon madu didenda 10 sampai 15 tahil, dituntut oleh hak waris, dan denda diserahkan kepada Kepala Adat. (satu tahil setara dengan satu piring kaca, jika dirupiahkan dihitung berdasarkan kesepakatan bersama masyarakat).
Menebang pohon damar didenda oleh semua masyarakat yang termasuk wilayahnya, denda diserahkan ke adat. Menebang pohon lalu menimpa pohon buah-buahan milik orang lain dikenakan denda yang dibayarkan sesuai dengan kerugian atas robohnya pohon buah tersebut. Menebang pohon lalu menimpa rumah/pondok orang lain diminta ganti rugi. Membakar ladang dan apinya merambat ke ladang/kebun orang lain didenda sesuai dengan kerugian atas kebun tersebut.
Terdapat lima prinsip dasar yang bisa dicermati dalam budaya dayak Pegunungan Meratus yaitu keberlanjutan, kebersamaan, keanekaragaman hayati, subsisten, dan kepatuhan kepada hukum adat. Bila kelima prinsip ini dilaksanakan secara konsisten maka akan menghasilkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, yang mencakup secara ekonomis bermanfaat, secara ekologis tidak merusak, dan secara budaya menghormati nilai-nilai kemanusiaan.
IV. KESIMPULAN
1. Paradigra lama dalam mengatasi masalah sumber daya alam dan lingkungan yang hanya mengandalkan mekanisme pasar dan intervensi pemerintah untuk mengatasi ketidaksempurnaan pasar sudah tidak dapat dipertahankan lagi, karena keterbatasan pemerintah dalam kemampuan personal dan penguasaan informasi. Sehingga, penguatan stakeholders yg merasakan dampak kerusakan lingkungan dan sumberdaya alam perlu dilakukan. Termasuk menggali nilai-nilai setempat yang sering disebut kearifan lokal (local wisdom) untuk dijadikan pendukung pengelolaan lingkungan hidup yang lestari.
2. Masyarakat adat memiliki motivasi yang kuat dan mendapatkan insentif yang paling bernilai untuk melindungi hutan dibandingkan pihak-pihak lain karena menyangkut keberlanjutan kehidupan mereka. Masyarakat adat memiliki pengetahuan asli bagaimana memelihara dan memanfaatkan sumberdaya hutan yang ada di dalam habitat mereka. Masyarakat adat memiliki hukum adat untuk ditegakkan. Masyarakat adat memiliki kelembagaan adat yang mengatur interaksi harmonis antara mereka dengan ekosistem hutannya.
3. Masyarakat Dayak Meratus merupakan satu model kearifan lokal yang dapat mendukung pengelolaan sumberdaya alam secara lestari dan merupakan satu dari banyak kearifan masyarakat dayak dan masyarakat Indonesia lainnya dalam mengelola lingkungannya. Terdapat lima prinsip dasar yang bisa dicermati dalam budaya Dayak Pegunungan Meratus yaitu keberlanjutan, kebersamaan, keanekaragaman hayati, subsisten, dan kepatuhan kepada hukum adat. Bila kelima prinsip ini dilaksanakan secara konsisten maka akan menghasilkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, yang mencakup secara ekonomis bermanfaat, secara ekologis tidak merusak, dan secara budaya menghormati nilai-nilai kemanusiaan.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar Wahyudi K, 2008. Perspektif Globalisasi, Ekonomi dan Kearifan Lokal di Kabupaten Kotawaringin Timur. Makalah pada Dialog Interaktif Hari Jadi Kabupaten Kotawaringin Timur di Sampit.
Nurjaya I Nyoman, 2008. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam. Makalah dalam Temu Kerja Dosen Sosiologi Hukum, Antropolog Hukum, dan Hukum Adat Fakultas Hukum Se-Jawa Timur, Kerjasama Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Universitas Brawijaya dengan HuMa Jakarta,tanggal 22 – 23 Pebruari 2006 di Program Pascasarjana Universitas Brawijaya.
Pusat Kajian Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III, 2006. Pola Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Berbasis Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan. Lembaga Administrasi Negara, Samarinda.
Soemarwoto Otto, 1986. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Gadjahmada University Press, Yogyakarta.
1 komentar:
sangat komprehensif
https://www.plazarealcariari.com/2020/11/pinjaman-online-terbaik.html
Posting Komentar