Jumat, 04 Desember 2009

PEMANFAATAN DAN PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT DI KALIMANTAN TENGAH

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Keberadaan lahan gambut dunia semakin dirasakan peran pentingnya terutama dalam menyimpan lebih dari 30% karbon terrestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi, serta memelihara keanekaragaman hayati. Luas lahan gambut dunia yang berkisar 38 juta ha terdapat lebih 50% berada di Indonesia. Lahan gambut di Indonesia diperkirakan seluas 25.6 juta ha, tersebar di Pulau Sumatera 8.9 juta ha (34.8%), Pulau Kalimantan 5.8 juta ha (22.7%) dan Pulau Irian 10.9 juta ha (42.6%). Di wilayah Sumatera, sebagian besar gambut berada di pantai Timur, sedangkan di Kalimantan ada di Provinsi Kalimantan Barat, Tengah dan Selatan (Driessen et al, 1974, dalam Setiadi, 1995).

Hasil studi Puslitanak (2005), bahwa luas lahan gambut di Kalimantan Tengah mencapai 3.01 juta ha atau 52.2% dari seluruh luasan gambut di Kalimantan. Gambut di Kalimantan Tengah tersebut 1/3 nya merupakan gambut tebal (ketebalan ≥3 meter). Berdasarkan tipe kedalaman, estimasi distribusi lahan gambut di Kalimantan Tengah meliputi: sangat dangkal/sangat tipis mencapai 75,990 ha (3%); sedangkal/tipis mencapai 958,486 ha (32%); sedang mencapai 462,399 ha (15%); dalam/tebal mencapai 574,978 ha (19%); sangat dalam/sangat tebal mencapai 661,093 ha (22%) dan dalam sekali/tebal sekali mencapai 277,694 ha (9%).

Deposit karbon (C) yang terkandung dalam lahan gambut di Kalimantan Tengah diperkirakan sebesar 6.35 giga ton (GT) atau setara karbon hasil pembakaran bahan bakar minyak di Amerika Serikat selama satu tahun. Jumlah ini merupakan deposit terbesar di Pulau Kalimantan, yaitu sekitar 56.34% dari deposit karbon di lahan gambut Kalimantan. Dari deposit karbon tersebut, diperkirakan defosit terbesarterdapat di Kabupaten Pulang Pisau (2.7 giga ton), Kabupaten Katingan (1.5 giga ton), Kabupaten Kapuas (1.1 giga ton), dan selebihnya di kabupaten-kabupaten lainnya.

Mengingat pentingnya lahan gambut di Kalimantan Tengah secara ekonomis maupun secara ekologis, maka pengelolaan dan pemnafaatannya harus dilakukan secara hati-hati dengan berupaya mendapatkan manfaat secara optimal namun dengan tetap mempertahankan fungsi ekologisnya. Hal ini karena pengelolaan lahan gambut berkelanjutan akan menentukan banyak hal yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat di Kalimantan Tengah dan kepentingan nasional maupun dunia internasional akan pembangunan berkelanjutan.

1.2. Tujuan Penulisan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan dan pengelolaan lahan gambut di Kalimantan Tengah, serta melihat aspek-aspek yang terkait dengan hal tersebut.

1.3. Metode Penulisan

Penulisan kertas kerja/makalah ini secara diskriptif dengan sumber dari pustaka dan sumber-sumber lain yang berkaitan dengan topik yang ditulis.

II. MASALAH PENGELOLAAN GAMBUT DI KALIMANTAN TENGAH

2.1. Gambaran Umum Kawasan Bergambut di Kalimantan Tengah

Kawasan bergambut di Kalimantan Tengah melingkupi hamparan areal yang cukup luas, yakni diperkirakan mencakup areal seluas 3,472 Juta Ha, atau sekitar 21,98 % dari total luas wilayah Provinsi Kalimantan Tengah yang mencapai 15,798 Juta Ha.

Ditinjau dari letak geografis wilayah Provinsi Kalimantan Tengah, kawasan bergambut tersebut terletak di bagian selatan dari Garis Equator (0o Garis Lintang), atau dengan kata lain terletak pada Garis Lintang Selatan hingga ke gugusan pantai di tepi laut Jawa di bagian selatan Pulau Kalimantan, yang merupakan Batas Selatan dari Propinsi Kalimantan Tengah. Sebagaimana diketahui bahwa Propinsi Kalimantan Tengah dibagi dua oleh Garis Lintang atau Garis Equator menjadi 2 (dua) bagian, yakni Lintang Utara dan Lintang Selatan.

Disamping kekhususan tersebut, Kalimantan Tengah secara geografis juga memiliki ciri tersendiri lainnya yang khas, yakni perubahan ketinggian (dpl) secara simultan dari arah selatan, yang berbatasan dengan Laut Jawa, hingga ke bagian utara di Gugusan Bukit Raya/Bukit Baka yang merupakan Kawasan Lindung. Kondisi alamiah-geografis tersebut merupakan faktor penentu yang mempengaruhi letak dan sebaran kawasan bergambut di Kalimantan Tengah, yang juga memiliki pola perubahan yang sama, yakni dari selatan ke utara.

Gambut hanya mungkin terbentuk apabila terdapat limpahan biomass atau vegetasi pada suatu kawasan yang mengalami hambatan dalam proses dekomposisinya. Faktor penghambat utama tersebut adalah genangan air sepanjang tahun atau kondisi rawa. Dalam konteks yang demikian, hutan sebagai penghasil limpahan biomass, yang mendominasi wilayah Kalimantan Tengah (sekitar 65,05 % dari total luas wilayah), khususnya pada areal-areal yang selalu tergenang air adalah merupakan kawasan potensial terbentuknya gambut. Tetapi sebaliknya, tidak semua areal hutan dapat membentuk lahan-lahan bergambut.

Berdasarkan kondisi obyektif sampai saat ini, kawasan bergambut di Kalimantan Tengah dapat dikelompokkan menjadi 5 (lima) kelompok utama, yakni :

a. Kawasan Bergambut yang Belum Digarap

Kawasan bergambut pada kelompok ini umumnya masih berhutan atau merupakan Kawasan Hutan, terdiri dari Kawasan Hutan Produksi, Kawasan Lindung dan Kawasan Konservasi lainnya. Mengingat arealnya masih berhutan, maka cukup mudah membedakan ciri-ciri penyusun vegetasi di kawasan ini, yang umumnya didominasi oleh jenis-jenis Meranti Rawa, Ramin, Jelutung, Agathis, Nibung dan Rengas. Sebagian besar dari kawasan bergambut yang termasuk pada kelompok ini dibebani Hak Pengusahaan Hutan (HPH) mengingat vegetasi penyusun arealnya yang masih potensial untuk dimanfaatkan.

Kawasan bergambut pada kelompok ini terletak pada tiga kawasan utama yakni :

- Kawasan hutan yang terletak diantara Areal Eks PLG di sebelah Timur (dibatasi oleh sungai Sebangau) hingga areal Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) di sebelah Barat, dengan batas Utara adalah Jalan Trans Kalimantan dan di sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Jawa.

- Kawasan hutan yang terletak pada Blok E di sebelah Utara areal Eks PLG.

- Kawasan hutan yang terletak diantara kawasan TNTP hingga ke batas propinsi dengan Propinsi Kalimantan Barat.

b. Kawasan Bergambut Areal Eks PLG

Sebagaimana diketahui bahwa Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Satu Juta Hektar adalah merupakan mega proyek nasional yang bermasalah karena tanpa didahului oleh kajian-kajian secara matang dan mendalam serta perencanaan yang tepat, mantap dan tidak terintegrasi secara lintas sektoral. Terlebih lagi areal PLG yang sedemikian luas tersebut merupakan kawasan hutan bergambut dengan berbagai karakteristik khusus dan khas, yang tentu saja semestinya memerlukan penanganan secara khusus pula.

Total luasan areal Eks PLG adalah seluas 1.119.493 Ha, yang terdiri atas 4 (empat) Blok, masing-masing Blok A seluas 227.100 Ha, Blok B seluas 161.480 Ha, Blok C seluas 568.635 Ha dan Blok D seluas 162.278 Ha.

c. Kawasan Bergambut TNTP

Kelompok ketiga kawasan bergambut di Kalimantan Tengah adalah pada Kawasan Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) dengan luas areal mencapai 415.040 Ha, yang secara khusus diperuntukkan sebagai habitat bagi satwa langka yang dilindungi yakni orangutan (Pongo pygmaeus).

d. Kawasan Bergambut Terlantar

Kawasan bergambut yang diklasifikasikan sebagai kawasan yang terlantar umumnya merupakan salah satu dampak dari kegiatan pembangunan akses jalan yang menghubungkan daerah-daerah di Kalimantan Tengah. Oleh karena itu, sebaran dari kawasan bergambut pada kelompok ini terletak di sepanjang kiri kanan Jalan Negara, seperti Jalan Trans Kalimantan yang menghubungkan Palangka Raya – Kuala Kapuas – Banjarmasin, Jalan Negara yang menghubungkan Sampit – Ujung Pandaran, Sampit – Kuala Pembuang, Palangka Raya – Tumbang Talaken – Tumbang Jutuh, Kotawaringin – Sukamara, dan lain-lain.

Menjadi terlantar karena pada umumnya kawasan bergambut pada kelompok ini berdasarkan sistem Tata Ruang Propinsi Kalimantan Tengah (RTRWP) sudah tidak lagi merupakan Kawasan Hutan Tetap di satu sisi, sedangkan di sisi lain di claim oleh masyarakat sebagai areal tanah milik mereka, tetapi tidak digarap atau diolah sebagaimana mestinya.

Kelompok ini lebih tepat disebut sebagai lahan gambut terlantar atau lahan tidur yang bergambut.

e. Kawasan Bergambut Yang Diolah Masyarakat

Kelompok terakhir dari kawasan bergambut yang terdapat di wilayah Propinsi Kalimantan Tengah adalah kawasan bergambut yang telah diolah oleh masyarakat, atau dengan kata lain dapat disebut sebagai lahan gambut produktif. Kawasan bergambut pada kelompok ini (lahan gambut produktif) umumnya terdiri dari :

- Kawasan bergambut yang dijadikan sebagai kawasan pemukiman melalui program transmigrasi, dan

- Kawasan bergambut yang dikelola menjadi lahan-lahan perkebunan besar swasta (kelapa sawit), serta

- Kawasan bergambut yang dikelola masyarakat setempat baik sebagai lahan perkebunan maupun hasil hutan ikutan lainnya (seperti kebun kelapa, kebun karet, budidaya jelutung, kebun rotan, dan lain-lain).

Dari ke-5 kelompok tersebut di atas, ditinjau dari perspektif pengelolaan berkelanjutan lahan gambut, maka 4 (empat) kelompok yang pertama adalah merupakan kawasan bergambut yang perlu mendapat prioritas penanganannya, yang tentu saja dengan memperhatikan berbagai kondisi obyektifnya masing-masing.

2.2. Degradasi Lahan Gambut dan PLG Sejuta Hektar

Potensi lahan gambut di Kalimantan Tengah sudah mengalami degradasi yang cukup parah. CIMTROP (2002) dalam WWF (2003) mengindentifikasi setidaknya terdapat 3 (tiga) hal mendasar yang merupakan ancaman bagi keberadaan hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah, yaitu: (1) konversi lahan gambut secara besar-besaran untuk dijadikan areal pertanian ketika ilaksanakannya Proyek PLG 1 juta ha tahun 1995; (2) meluasnya eksploitasi sumberdaya hutan rawa gambut melalui perizinan HPH/HTI dan illegal logging; dan (3) kebakaran hutan dan lahan oleh perubahan ekosistem dalam hutan rawa gambut.

PLG (Pengembangan Lahan Gambut) satu juta hektar di Kalimantan Tengah merupakan suatu bentuk eksploitasi terbesar terhadap hutan dan lahan gambut. Proyek PLG yang dilaksanakan berdasarkan KEPPRES RI Nomor 82 Tahun 1995, bertujuan untuk mengkonversi hutan rawa gambut (weatland) yang terletak di Provinsi Kalimantan Tengah menjadi sawah guna mempertahankan swasembada beras yang telah dicapai Indonesia pada tahun 1984. PLG tersebut telah mengeksploitasi sekitar ½ luas lahan gambut di Kalimantan Tengah. Lahan dan hutan yang terdapat pada lapisan bagian atas lahan gambut di sekitar lokasi proyek terdegradasi dan ekosistemnya dikonversikan menjadi lahan pertanian.

Eksploitasi lahan gambut sekitar 1.7 juta hektar dan pembangunan jaringan tata air (Saluran Primer Induk sepanjang 187 km yang menghubungkan Sungai Kahayan dan Sungai Barito, Saluran Primer Utama sepanjang 958.18 km, ribuan kilometer saluran sekunder dan tersier) yang memotong kubah gambut, telah menimbulkan masalah lingkungan yang sangat serius, yaitu: banjir besar pada musim penghujan, kekeringan pada musim kemarau yang diikuti dengan kebakaran hutan lahan, maraknya illegal logging, kemerosotan keanakaragaman hayati. Di sisi lain, puluh ribu transmigran yang telah didatangkan (hingga dihentikan pada tahun 1999/2000 sebanyak 15,600 KK) juga memunculkan persoalan sosial dan ekonomi dari proyek PLG tersebut.

Secara ekologi, pembakaran lahan gambut mempercepat rusaknya lingkungan yang unik dan jasa-jasa ekologi yang dihasilkannya (misalnya pengaturan air dan pencegahan banjir). Pemadaman kebakaran di areal gambut sangat sulit, mahal dan dapat menyebabkan kerusakan ekologi dalam jangka-panjang. Meski pemerintah melalui Keppres No 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung memberikan perlindungan terhadap lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter, namun hal ini tak otomatis menyelesaikan persoalan gambut. Kian menyempitnya ketersediaan lahan mineral rupanya telah mendorong berbagai praktik pemanfaatan lahan gambut dengan ketebalan di bawah 3 meter oleh para pengusaha (tentu dengan izin pemda).

Jarang para pengusaha itu memikirkan pengaruh praktik-praktik tersebut terhadap lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter yang nota bene dilindungi. Padahal keduanya tak bisa berdiri sendiri-sendiri. Pada kenyataannya lahan gambut dengan perbedaan kedalaman tersebut bisa jadi merupakan satu ekosistem atau dalam satu landscape. Kebijakan pemerintah dalam membolehkan pemanfaatan lahan gambut kurang dari 3 meter akan mempengaruhi lahan gambut yang dilindungi (3 meter lebih itu). Cara terbaik untuk mencegah kebakaran di lahan-lahan gambut adalah dengan mengkonservasi mereka dalam keadaan alaminya. Yakni dengan memberikan perhatian khusus terhadap aspek-aspek pengelolaan air yang baik, pemanfaatan lahan yang sesuai, dan pengelolaan hutan yang lestari. Artinya, drainase/pengeringan dan konversi kawasan lahan gambut harus dicegah.

Perlindungan terhadap kawasan gambut dengan sendirinya akan mengendalikan hidrologi wilayah yang berfungsi sebagai penambat air dan pencegah banjir. Dalam kondisi alami yang tidak terganggu, lahan-lahan gambut mempunyai fungsi-fungsi ekologi yang penting: mengatur air di dalam dan di permukaan tanah.

Dengan sifatnya yang seperti spon, gambut dapat menyerap air yang berlebihan, yang kemudian secara kontinye dilepas perlahan-lahan. Hal ini menyebabkan air akan tetap mengalir secara konsisten dan karena itu menghindari terjadinya banjir juga kekeringan. Tak hanya itu, perlindungan kawasan gambut akan menjaga keanekaragaman hayati dengan banyak jenis yang unik dan hanya dijumpai di daerah lahan gambut (Darajat Salman, 2006).

Munculnya permasalahan terhadap lingkungan, ekonomi, dan kehidupan sosial tersebut, akibat tidak memperhatikan aspek ekologis dan karakteristik ekosistem lahan gambut di Kalimantan Tengah, menyebabkan proyek PLG dinilai tidak berhasil dan dihentikan. Untuk menangani kawasan eks PLG tersebut, maka dikeluarkan KEPPRES RI Nomor 80 Tahun 1999 tentang Pedoman Umum Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah.

Point penting dalam KEPPRES RI Nomor 80 Tahun 1999 disebutkan bahwa lahan bergambut tipis dengan ketebalan gambut kurang dari 3 meter dapat dimanfaatkan untuk budidaya kehutanan, pertanian, perikanan dan perkebunan. Sedangkan pada lahan bergambut dengan ketebalan lebih dari 3 meter dan kawasan yang berfungsi lindung dimanfaatkan untuk konservasi. KEPPRES RI Nomor 80 Tahun 1999 tersebut tidak dapat berfungsi, karena tidak adanya petunjuk pelaksanaan lebih lanjut.

Sejak dihentikannya PLG pada tahun 1999 hingga 2006, kegiatan penangan an kawasan hanya dilakukan secara sporadis, berdasarkan kasus yang dihadapi oleh masyarakat di daerah tersebut. Sementara itu, permasalahan lingkungan, ekonomi, dan kehidupan sosial masih saja terus terjadi. Kini di tahun 2007, kawasan eks PLG kembali dikelola secara khusus dengan keluarnya INPRES RI Nomor 2 Tahun 2007 tentang Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan PLG di Kalimantan Tengah. Ada 3 (tiga) program utama yang akan dilaksanakan dalam INPRES Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan PLG di Kalimantan Tengah selama tahun 2007-2011, yaitu: (1) konservasi; (2) budidaya; dan (3) pemberdayaan masyarakat lokal dan transmigran.

Rencana pemerintah untuk melakukan percepatan rehabilitasi dan revitalisasi kawasan PLG di Kalimantan Tengah mencakup luasan lahan 1,457,300 ha, meliputi: (1) blok A seluas 310,000 ha; (2) blok B seluas 158,600 ha; (3) blok C seluas 440,000 ha; (4) blok D seluas 139,000 ha; dan (5) blok E seluas 409,700 ha. Pada tahun 2007/2008, berbagai upaya persiapan pelaksanaan Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan PLG di Kalimantan Tengah sudah mulai dilakukan baik oleh Pemerintah Daerah sendiri,Perguruan Tinggi, Swasta, LSM, dan lainnya. Universitas Palangka Raya melalui CKPP (Central Kalimantan Peatlands Project), bekerjasama dengan Institute for Environmental Studies (IVM), Vrije Universiteit, De Boelelaan 1087, 1081 HV Amsterdam, The Netherlands pada tahun 2007/2008 melakukan kajian untuk menemukan persepsi atau pengertian masyarakat yang tinggal di daerah lahan gambut berkaitan dengan rencana pemerintah tersebut.

III. PERTANIAN BERKELANJUTAN DALAM PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT

3.1. Pertanian Berkelanjutan

Definisi komprehensif bagi pertanian berkelanjutan meliputi komponen-komponen fisik, biologi dan sosioekonomi, yang direpresentasikan dengan sistem pertanian yang melaksanakan pengurangan input bahan-bahan kimia dibandingkan pada sistem pertanian tradisional, erosi tanah terkendali, dan pengendalian gulma, memiliki efisiensi kegiatan pertanian (on-farm) dan bahan-bahan input maksimum, pemeliharaan kesuburan tanah dengan menambahkan nutrisi tanaman, dan penggunaan dasar-dasar biologi pada pelaksanaan pertanian.

Salah satu pendekatan pertanian berkelanjutan adalah input minimal (low input) secara khusus ditulis oleh Franklin H. King dalam bukunya Farmers of Forty Centuries. King membandingkan penggunaan input minimal dan pendekatan berkelanjutan pada pertanian daratan Timur (oriental) dengan apa yang dia lihat sebagai kesalahan metoda yang digunakan petani Amerika. Gagasan King adalah bahwa sistem pertanian memiliki kapasitas internal yang besar untuk melakukan regenerasi dengan menggunakan sumberdaya-sumberdaya internal.

Baru-baru ini, Undang-undang Produktivitas Pertanian Amerika, yang merupakan bagian dari Undang-undang Keamanan Pangan 1985, menyediakan kewenangan untuk melaksanakan program riset dan pendidikan pada sistem pertanian alternatif -yang kemudian dikenal sebagai pertanian berkelanjutan dengan input minimal (Low Input Sustainable Agriculture (LISA)). Pada bulan Desember 1987, Kongres Amerika menyetujui US $ 3,9 juta untuk memulai pekerjaan tersebut atas dasar undang-undang Keamanan Pangan. Undang-undang tersebut memberikan mandat untuk melakukan investigasi ilmiah pada a) peningkatan produktivitas pertanian, b) produktivitas lahan sentra produksi, c) mengurangi erosi tanah, kehilangan air dan nutrisi, dan d) melakukan konservasi sumberdaya natural dan energi.

Petani Amerika saat ini sedang mencari sumberdaya yang efisien, biaya lebih rendah, dan sistem-sistem produksi yang lebih menguntungkan. Siapapun yang bergerak di bidang pertanian seharusnya berbagi kepedulian yang lebih luas pada masyarakat dalam mendukung lingkungan yang bersih dan nyaman. Selama sepuluh tahun terakhir, telah terjadi paradigma yang mengangkat masyarakat pertanian dari kondisi yang mengharuskan produktivitas lebih tinggi menuju suatu kondisi masyarakat yang peduli pada keberlanjutan. Hal ini dirasakan sebagai suatu kesalahan bahwa produktivitas yang tinggi dari kegiatan pertanian konvensional telah menimbulkan biaya kerusakan yang cukup siginifikan terhadap lingkungan alam dan disrupsi masalah sosial.

Dalam usaha mengalihkan konsekuensi-konsekuensi negatif pertanian konvensional, beberapa format sistem pertanian berkelanjutan yang berbeda telah direkomendasikan sebagai alternatif-alternatif untuk mencapai tujuan sistem produksi pertanian yang dapat menguntungkan secara ekonomi dan aman secara lingkungan. Kepentingan dalam sistem pertanian alternatif ini sering dimotivasi dengan suatu keinginan untuk menurunkan tingkat kesehatan lingkungan dan kerusakan lingkungan dan sebuah komitmen terhadap manajemen sumberdaya alam yang berkeadilan. Tetapi kriteria yang paling penting untuk kebanyakan petani dalam mempertimbangkan suatu perubahan usaha tani adalah keingingan memperoleh hasil yang layak secara ekonomi. Adopsi terhadap metode pertanian alternatif yang lebih lebar ini membutuhkan bahwa metode tersebut sedikitnya sama kualitasnya dalam memperoleh keuntungan dengan metode konvensional atau memiliki keuntungan-keuntungan non-keuangan yang signifikan, seperti sebagai usaha menjaga penurunan kualitas sumberdaya air dan tanah secara cepat.

Riset dan pendidikan bergerak terbatas diantara para peneliti atau mahasiswa. Sebagaimana seorang mahasiswa menjadi lebih baik diberikan pendidikan mengenai pengetahuan praktis pertanian berkelanjutan, lebih memiliki minat dan dana akan ditingkatkan untuk mendukung riset selanjutnya. Jaminan peneliti dan ketersediaan dana penelitian ini akan lebih memberikan harapan untuk meningkatkan minat pada pendidikan yang memandu riset selanjutnya secara umum. Pooling pendapat yang dilakukan mahasiswa di sejumlah fakultas seluruh Amerika menunjukkan ketertarikan pada pertanian berkelanjutan. Kebanyakan mereka mempertanyakan masalah-masalah pertanian berkelanjutan sebagai sebuah pemikiran yang tidak dapat diadopsi dalam program agroekologi.

Mereka memberikan komentar bahwa penurunan dampak lingkungan akibat usaha pertanian berkelanjutan sebagai sebuah keuntungan yang besar dari meninggalkan usaha pertanian konvensional. Lebih banyak riset yang dilakukan pada pertanian berkelanjutan ini, program-program pendidikan yang lebih baik akan dapat dilaksanakan di wilayah ini.

Ketika perubahan dari kegiatan pertanian konvensional ke pertanian berkelanjutan dilaksanakan, perubahan sosial dan struktur ekonomi juga akan terjadi. Pada saat input menurun, terdapat hubungan yang menurun pula pada hubungan kerja terhadap mereka yang selama ini terlibat dan mendapatkan manfaat dari pertanian konvensional. Hasilnya adalah terdapat banyak kemungkinan yang dapat ditemukan yaitu meningkatnya kualitas hidup, dan peningkatan kegiatan pertanian mereka. Dalam mengadopsi input minimal (low input) sistem-sistem berkelanjutan dapat menunjukkan penurunan potensial fungsi-fungsi eksternal atau konsekuensi-konsekuensi negatif dari jebakan sosial pada masyarakat. Petani sering terperangkap dalam perangkap sosial tersebut sebab insentif-insentif yang mereka terima dari kegiatan produksi saat ini.

3.2. Pengelolaan Kawasan Bergambut di Kalimantan Tengah

Perkembangan pengelolaan kawasan bergambut di Kalimantan Tengah dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Pengelolaan Kawasan Bergambut melalui Program Pemerintah.

Penetapan kawasan-kawasan bergambut tertentu untuk tujuan-tujuan konservasi berupa penetapan Kawasan Taman Nasional, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Cagar Budaya, Taman Wisata, Hutan Lindung, termasuk Kawasan Konservasi Air Hitam. Masing-masing fungsi kawasan tersebut telah secara jelas diatur dan ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah (RTRWP) hasil Paduserasi Tahun 1999 yang kemudian dirubah dalam dengan Peraturan Daerah Kalimantan Tengah Nomor 08 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalimantan Tengah.RTRWP ini kemudian sejak tahun 2006 direvisi kembali dan sampai saat ini belum disyahkan karena belum mendapat persetujuan dari Pemerintah dan DPR RI.

Untuk tujuan pembangunan wilayah, pengelolaan kawasan bergambut yang berskala besar dan sensasional adalah Proyek Pengembangan Lahan Gambut Satu Juta Hektar (PLG), mencakup areal seluruhnya seluas 1.119.493 Ha. Namun karena mega proyek tersebut pelaksanaannya tidak didahului dengan kajian-kajian teknis, ilmiah dan socio-ekonomis secara holistik dan tidak didukung dengan perencanaan yang tepat, mantap dan terintegrasi secara lintas sektoral, dimana pelaksanaannya terhadap suatu hamparan kawasan hutan bergambut yang sangat luas dengan berbagai karakterisitiknya yang khas, maka yang terjadi justru adalah mega masalah yang hingga sekarang belum kunjung selesai dan dapat teratasi secara paripurna.

Pengelolaan kawasan gambut untuk kepentingan pembangunan wilayah (selain Proyek PLG) pada umumnya dalam bentuk-bentuk pembukaan lahan baru untuk dijadikan sebagai lokasi pemukiman penduduk melalui program transmigrasi atau re-settlement. Disamping itu adalah berupa pembangunan jaringan atau akses jalan yang menghubungkan daerah-daerah di Kalimantan Tengah.

Penetapan kawasan bergambut seluas lebih kurang 40 Ha di Nyaru Menteng (28 Km dari Kota Palangka Raya) yang dikelola sebagai Areal Arboretum sekaligus sebagai tempat rekreasi masyarakat kota Palangka Raya dan sekitarnya. Disamping itu, di dalam Areal Arboretum Nyaru Menteng ini juga terdapat Pusat Reintroduksi Orangutan yang dikelola oleh The Balikpapan Orangutan Survival Foundation.

2. Pengelolaan Kawasan Bergambut oleh Pihak Swasta

Pengelolaan kawasan bergambut yang masih berupa hutan (Kawasan Hutan) yang dilakukan oleh para pemegang HPH dalam rangka memanfaatkan tegakan hutan yang bernilai ekonomis melalui kegiatan-kegiatan eksploitasi dan silvikultur.

Pengelolaan kawasan bergambut yang sudah tidak berupa hutan (bukan merupakan Kawasan Hutan) oleh perusahaan perkebunan swasta besar (PSB) yang dikonversi menjadi kebun-kebun kelapa sawit sekaligus sebagai sentra-sentra produksi crude palm oil (CPO) di Kalimantan Tengah.

3. Pengelolaan Kawasan Bergambut oleh Lembaga Perguruan Tinggi

a. Mengacu RTRWP Hasil Paduserasi Tahun 1999 yang berlaku saat ini, di Kalimantan Tengah telah dialokasikan kawasan hutan bergambut seluas lebih kurang 5.000 Ha yang diperuntukkan sebagai Hutan Pendidikan dan Penelitian yang terletak di Hampangen, Kabupaten Katingan.. Kawasan tersebut dikelola sepenuhnya oleh pihak Universitas Palangka Raya, dan selama ini menjadi tempat kegiatan praktek lapangan maupun research mahasiswa.

b. Laborarium Gambut di sungai Sebangau yang dikelola oleh pihak Universitas Palangka Raya bekerja sama dengan pihak Nottingham University, UK.

4. Pengelolaan Kawasan Bergambut oleh Masyarakat

Kegiatan pengelolaan kawasan bergambut yang dilakukan oleh masyarakat lebih merupakan pemanfaatan lahan gambut untuk kepentingan pembangunan kebun-kebun rakyat dan pengolahan lahan gambut sebagai lahan pertanian tanaman pangan, dengan pola sebaran mengikuti konsentrasi pemukiman penduduk di sepanjang kiri kanan Jalan Negara.

3.3. Prospek Pengembangan Pertanian di Lahan Gambut

Potensi pengembangan pertanian pada lahan gambut, disamping faktor kesuburan alami gambut juga sangat ditentukan oleh manajemen usaha tani yang akan diterapkan. Pengelolaan lahan gambut pada tingkat petani, dengan pengelolaan usaha tani termasuk tingkat rendah (low inputs) sampai sedang (medium inputs), akan berbeda dengan produktivitas lahan dengan manajemen tinggi yang dikerjakan oleh swasta atau perusahaan besar (Subagyo et,al. dalam Chotimah, 2009).

Dengan manajemen tingkat sedang yaitu perbaikan tanah dengan penggunaan input yang terjangkau oleh pertani seperti pengolahan tanah, tata air mikro, pemupukan, pengapuran, serta pemberantasan hama dan penyakit, maka potensi pengembangan lahan dititikberatkan pada pemilihan jenis tanaman dan teknis bertanam (Abdurachman dan Suriadikarta, 2000).

a. Padi Sawah

Budidaya padi sawah dibudidayakan oleh petani transmigrasi untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Akan tetapi budidaya padi sawah di lahan gambut dihadapkan pada berbagai masalah terutama menyangkut kendala fisika, kesuburan tanah, serta pengelolaan tanah dan air. Khusus gambut tebal (>1 meter) belum berhasil dimanfaatkan untuk budidaya padi sawah karena mengandung sejumlah kendala yang belum dapat diatasi. Kunci keberhasilan budidaya padi sawah pada lahan gambut terletak pada keberhasilan dalam pengelolaan dan pengendalian air, penanganan sejumlah kendala fisik yang merupakan faktor pembatas, penanganan substansi toksik, dan pemupukan unsir makro dan mikro.

Lahan gambut yang sesuai untuk padi sawah adalah gambut tipis (20-50 cm) dan gambut dangkal (50-100 cm). Padi kurang sesuai pada gambut sedang (1-2 meter) dan tidak sesuai pada gambut tebal (2-3 meter) dan sangat tebal (lebih dari 3 meter). Pada gambut tebal dan sangat tebal, tanaman padi tidak bisa membentuk gabah karena kahat unsur hara mikro.

Pada tanah sawah dengan kandungan organik tinggi, asam-asam organik menghambat pertumbuhan terutama akar, mengakibatkan rendahnya produktivitas bahkan kegagalan panen. Tingkat keasaman dan suplai Ca yang rendah serta kandungan abu yang rendah merupakan faktor pembatas utama pertumbuhan padi sawah pada gambut tebal.

b. Tanaman Perkebunan dan Industri

Budidaya tanaman perkebunan berskala besar banyak dikembangkan di lahan gambut oleh perusahaan-perusahaan swasta. Pengusahaan tanaman-tanaman ini kebanyakan dengan pemanfaatan gambut tebal (1-2 meter). Sebelum penanaman dilakukan pemadatan tanah dengan menggunakan peralatan berat. Sistem draenase yang tepat sangat menentukan keberhasilan budidaya tanaman perkebunan di lahan tersebut. Pengelolaan kesuburan tanah yang utama adalah pemberian pupuk makro dan mikro.

Diantara tanaman perkebunan yang lain seperti sawit, karet, dan kelapa, nanas (Ananas cumosus) merupakan tanaman yang menunjukkan adaptasi yang tinggi pada gambut berdraenase. Nanas bisa beradaptasi dengan baik pada keadaan asam yang tinggi dan tingkat kesuburan yang rendah. Tanaman nenas tumbuh dengan baik dan mulai berbuah 14 bulan setelah tanam. Tumpang sari nenas dengan kelapa memberikan prospek yang cerah untuk dikembangkan. Kelapa sawit merupakan tanaman tahunan yang cukup sesuai pada lahan gambut dengan ketebalan sedang sampai tipis dengan hasil sekitar 13 ton per ha pada tahun ketiga penanaman.

Untuk jenis buah seperti jambu air (Eugenia), Mangga (Mangosteen), dan Rambutan, banyak ditanam di lahan gambut di Kalimantan Tengah. Sedangkan di daerah pantai ivory dengan lahan gambut termasuk oligotropik, pisang dapat tumbuh dengan drainase 80-100 cm dan menghasilkan 25-40 ton per ha walaupun dengan pengelolaan yang agak sulit. Tanaman lain yang potensial adalah tanaman keras seperti kelapa, kopi, dan tanaman obat.

c. Palawija dan Tanaman Semusim Lainnya.

Tanah gambut yang sesuai untuk tanaman semusim adalah gambut dangkal dan gambut sedang. Pengelolaan air pelu diperhatikan agar air tanah tidak turun terlalu dalam atau drastis untuk mencegah terjadinya gejala jering tidak balik.

Tanaman pangan memerlukan kondisi draenase yang baik untuk mencegah penyakit busuk pada bagian bawah tanaman dan meminimalkan pemakaian pupuk. Ubikayu (Manihot esculenta) merupakan tanaman yang cukup produktif di lahan gambut oligotropik dengan drenase yang baik. Sementara untuk tanaman sayuran beberapa jenis sayuran seperti cabe, semangka, dan nenas mempunyai potensi ekonomi untuk dikembangkan.

Di daerah Kalampangan yang merupakan penghasil sayuran untuk Kota Palangkaraya, petani mengembangkan sayuran sawi, kangkung, mentimun dan lain-lain dalam skala kecil (sekitar 0,25 ha) secara monokultur.

Untuk menghindari penurunan permukaan tanah (subsidence) tanah gambut melalui oksidasi biokimia, permukaan tanah harus dipertahankan agar tidak gundul. Beberapa vegetasi seperti rumput-rumputan ataupun leguminose dapat dibiarkan untuk tumbuh di sekeliling tanaman, kecuali pada lubang tanam pokok seperti halnya pada perkebunan kelapa sawit dan kopi. Beberapa jenis leguminose menjalar seperti Canavalia maritima dapat tumbuh dengan unsur hara minimum dan menunjukkan toleransi yang tinggi terhadap keasaman.

Pembakaran seperti yang dilakukan pada perkebunan nenas harus mempertimbangkan pengaruhnya terhadap kebakaran lingkungan sekitarnya. Akan lebih baik jika penyiangan terhadap gulma dikembalikan lagi ke dalam tanah (dibenamkan) yang akan berfungsi sebagai kompos, sehingga selain memberikan tambahan hara, juga dapat membantu mengatasi penurunan permukaan tanah melalui subsidence.

Untuk tanaman hortikultura, pemabakaran seresah bisa dilakukan pada tempat yang khusus dengan ukuran 3 x 4 m. Dasar tempat pembakaran diberi lapisan tanah mineral/tanah liat setebal 20 cm dan disekelilingnya dibuat saluran selebar 30 cm. Kedalaman saluran disesuaikan dengan kedalaman air tanah dan ketinggian air dipertahankan 20 cm dari permukaan tanah agar gambut tetap cukup basah. Ini dimaksudkan agar pada waktu pembakaran api tidak menyebar (Chotimah, 2009).

3.4. Kearifan Lokal dan Pemberdayaan Masyarakat

Keterlibatan masyarakat untuk mengurangi tingkat ancaman dan kerusakan pada lahan gambut menjadi sangat besar mengingat bahwa adanya interaksi dengan pola pemanfaatan dan laju kerusakan. Hal yang sangat penting dan dapat dilakukan oleh masyarakat adalah bagaimana mengarahkan masyarakat dalam mengelola lahan gambut untuk kepentingan pemanfaatan dengan pola budaya tradisionil (kearifan lokal) yang memadukan antara pengembangan teknologi budidaya dan nilai budaya bertani.

Pemanfaatan lahan gambut secara bijaksana dan berkelanjutan merupakan upaya untuk tetap mempertahankan potensi kekayaan alami ekosistem, serta memanfaatkanya secara berkelanjutan agar dapat diperoleh manfaat tidak hanya untuk masa kini namun juga pada masa mendatang. Selama ini dan pasti akan terus berlangsung bahwa lahan gambut akan dimanfaatkan secara beragam oleh pemangku kepentingan, sehingga berakibat pada beberapa tempat memicu rusaknya sumber daya ekosistem hayati.

Pengalaman menunjukkan bahwa pengelolaan lahan gambut yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, khususnya masyarakat lokal akan lebih memberikan kepastian keberlanjutan pengelolaan dibandingkan dengan kegiatan serupa yang dilakukan tanpa peran masyarakat lokal. Melibatkan masyarakat melalui pola program pemberdayaan harus juga disesuaikan dengan dengan kondisi masyarakat setempat dan menghargai pemanfaatan secara tradisional.

Dalam kasus terjadi kerusakan yang sangat drastis pada lahan gambut maka pemberdayaan masyarakat yang memungkinkan dan memiliki peluang untuk dikembangkan adalah mengajak masyarakat kembali kepada pola tradisionil yaitu melakukan usaha penanaman kembali jenis-jenis tanaman yang sudah sangat familiar bagi masyarakat Kalimantan Tengah dan disesuaikan dengan kondisi setempat serta arah kebijakan pembangunan khususnya pada bidang perkebunan dan atau pertanian. Untuk saat ini sektor perkebunan menjadi salah satu program yang mendapat perhatian utama, ini dapat dilihat dengan begitu banyak dan luasnya pencadangan kawasan untuk kepentingan perkebunan dan komoditi andalan yang menjadi prioritas adalah pada jenis sawit dan karet dan jelutung.

Pemberdayaan masyarakat dalam mengelola lahan gambut untuk pengembangan sektor perkebunan terutama untuk jenis tanaman karet dan jelutung pada lahan gambut sangat perlu untuk dicermati, karena disamping untuk melakukan upaya rehabilitasi kembali kawasan-kawasan yang telah rusak juga diharapkan akan berdampak pada penurunan terhadap ancaman bahaya kebakaran hutan dan lahan.

Upaya-upaya pemberdayaan yang akan dilakukan tidak hanya berhenti pada upaya memfasilitasi petani atau masyarakat dengan pemberian bibit, namun juga harus diiringi dengan peningkatan pemahaman dan kapasitas serta tanggung jawab bersama terutama masyarakat yang menjadi penerima manfaat dari sebuah program ( Metarius, 2005).

IV. KESIMPULAN

1. Kalimantan Tengah merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi lahan gambut yang harus dijaga keberadaanya. Hal ini dikarenakan Kalimantan Tengah memiliki luas lahan gambut 3,01 juta hektar atau 52,5% dari luasan gambut di Pulau Kalimantan.

2. Potensi lahan gambut di Kalimantan Tengah tersebut sudah mengalami degradasi yang cukup parah. Setidaknya terdapat 3 (tiga) hal mendasar yang merupakan ancaman bagi keberadaan hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah, yaitu: (1) konversi lahan gambut secara besar-besaran untuk dijadikan areal pertanian ketika dilaksanakannya Proyek PLG satu juta hektar tahun 1995; (2) meluasnya eksploitasi sumberdaya hutan rawa gambut melalui perizinan HPH/HTI dan illegal logging; dan (3) kebakaran hutan dan lahan oleh perubahan ekosistem dalam hutan rawa gambut. PLG (Pengembangan Lahan Gambut) satu juta hektar di Kalimantan Tengah merupakan suatu bentuk eksploitasi terbesar terhadap hutan dan lahan gambut. PLG tersebut telah menimbulkan masalah lingkungan yang sangat serius.

3. Sebagian lahan gambut telah dimanfaatkan untuk perluasan areal pertanian. Pengembangan lahan tersebut didasarkan atas kebutuhan bahwa penyediaan tanah dengan kesuburan tinggi semakin langka. Dalam pengelolaan lahan gambut masih dijumpai sejumlah kendala yang menghambat pencapaian produktivitas yang diharapkan, kendala tersebut meliputi kendala fisik, kimia, serta kendala yang berkaitan dengan penyediaan dan tata kelola air. Meskipun demikian beberapa jenis tanaman pangan/hortikulturan dan tanaman perkebunan menunjukkan adaptasi yang baik di lahan gambut.

4. Perencanaan pengelolaan kawasan sebaiknya dilakukan studi secara mendalam terhadap semua aspek yang ada. Hal ini dimaksudkan agar ada sinkronisasi program yang berbasis perencanaan dari bawah, sehingga kebutuhan mendasar pada masyarakat sebagai pelaku utama dapat terpenuhi secara baik. Pentingnya peningkatan peran serta masyarakat dalam berbagai program untuk menjaga dan melakukan pemulihan lahan gambut. Untuk itu perlu mengintensifkan sosialisasi dari semua program secara baik dan penglibatan masyarakat dalam setiap implementasi program.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman dan Suriadikarta, 2000. Pemanfaatan Lahan Rawa eks PLG Kalimantan Tengah untuk Pengembangan Pertanian Berwawasan Lingkungan. Jurnal Litbang Departemen Pertanian 19 (3).

Chotimah Hastin Ernawati Nur Chusnul, 2009. Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Tanaman Pertanian. http://Formala.mulltiply.com/journal/item/45. Download tanggal 07 Mei 2009.

Darajat Salman, 2006. Konversi Lahan Gambut dan Perubahan Iklim. Harian Republika, Sabtu, 12 Agustus 2006.

Metarius, 2005. Pengelolaan Lahan Gambut Kritis dengan Penanaman Karet dan Jelutung. Comunity Enpowernment and Participatory Institute, CEPI.

Pieter van Beukering; Marije Schaafsma; Olwen Joung Marion Davies dan Ieva Oskolokaite, 2007. Nilai Ekonomi Lahan Gambut di Kalimantan Tengah:Persepsi Masyarakat Terhadap Kegiatan Rehabilitasi dan Revitalisasi eks PLG kalimantan Tengah. Institute for Environmental Studies (IVM) Vrije Universiteit-The Netherlands

MENJADIKAN PALANGKARAYA SEBAGAI RIVER FRONT CITY

Ide menjadikan Palangkaraya sebagai “Metropolitan Riverfront City” sebenarnya seperti mengembalikan permukiman di Kalimantan Tengah ke awal pembentukannya. Sebab secara kultural, terbentuknya permukiman di Kalimantan Tengah memang berawal tepi sungai. Pembangunan yang dilaksanakan kemudianlah yang menggeser sentra kehidupan masyarakat dari sungai ke darat. Alhasil, kota-kota kita tidak lagi ”menghadap” ke sungai, tetapi menjadikan sungai sebagai bagian belakang. Ketika banyak negara maju memoles kotanya dengan sebutan tersebut, kita pun terkesima dan mencoba lagi memandang ke sungai.

Menjadikan sebuah kota sebagai “water front city” sebenarnya bukan karena kota itu berada di pinggir sungai dan sekedar menata bantaran sungainya. Lebih jauh bagaimana menjadikan kembali sungai sebagai “urat nadi” dan “bagian depan” atau “wajah” sebuah kota. Ada keterikatan penting antara penataan pinggiran sungai dengan budaya setempat dan aktivitas yang terkait dengan sungai itu. Tanpa itu, penataan pinggiran sungai hanya seperti konsep yang ditempelkan saja, tetapi tidak memiliki kesatuan dan “ruh” dalam kehidupan sebuah kota.

Bagaimana menata kawasan flamboyan sebagai “ water front metropolitan city” yang dapat menjadi landmark bagi Kota Palangkaraya menjadi tantangan tersendiri. Sebab selain memiliki sejumlah potensi, juga tersedia sejumlah tantangan yang tidak kecil. Diantara tantangan itu adalah sebuah “keterlanjuran” yang selama ini membiarkan kekumuhan berlangsung di tepi sungai sehingga ada kesan bahwa pinggiran sungai menjadi terpinggirkan.

Sebagaimana kita ketahui kota ini memiliki luas wilayah 2678,51 km².Kota ini dibangun pada tahun 1957 (UU Darurat No. 10/1957 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Tengah) dari hutan belantara yang dibuka melalui Desa Pahandut di tepi Sungai Kahayan. Palangkaraya merupakan kota dengan luas wilayah terbesar di Indonesia. Sebagian wilayahnya masih berupa hutan, termasuk hutan lindung, Konservasi Alam, serta Taman Nasional Tangkiling.Kota Palangka Raya yang dikelilingi oleh banyak pepohonan menjadikan kota ini mempunyai nuansa seperti gabungan antara hutan, perkotaan dan pedesaan.

Dengan kondisi ini sebenarnya belum terlambat benar untuk menata Kota Palangkaraya dalam konsep tersebut, terutama untuk daerah flamboyan bawah yang didukung oleh keberadaan Pelabuhan Rambang, Tugu Sukarno, dan Kawasan Jembatan Kahayan. Tiga lokasi ini dapat menjadi ikon yang menarik dan mempunyai “nilai jual” yang dapat dipromosikan ke luar daerah atau luar negeri. Apalagi jika ditambah keberadaan Tangkiling dan arboretum orang utan. Maka peluang Palangkaraya untuk menjadi tujuan wisata dengan menjual budaya dan lingkungan (ecoculture tourism) menjadi cukup menarik.

Kawasan tersebut juga memiliki lahan yang relatif luas dengan panorama yang cukup bagus. Apalagi jika hutan-hutan yang ada di daerah tersebut, terutama di seberangnya dapat dipertahankan dan dilegalkan sebagai ”hutan kota”. Bangunan-bangunan yang ada didaerah pinggiran sungai umumnya juga merupakan bangunan non-permanen ataupun semi permanen yang jika dilakukan penataan, biaya gantiruginya relatif lebih murah. Hanya saja masalahnya bagaimana penataan itu tidak mengorbankan para pemukim disana tetapi menjadikan mereka sebagai bagian dari konsep penataan itu sendiri. Untuk itu dapat dilakukan gerakan “konsolidasi tanah” yang juga pernah diterapkan di Palangkaraya dan dianggap sukses oleh Badan Pertanahan Nasional.

Adanya titian ulin yang menghubungkan rumah-rumah di “daerah bawah” flamboyan dapat menjadi ciri tersendiri yang harus dipertahankan sebagai kekhasan yang jarang ditemui di daerah lain. Sangat disayangkan mengubah pelabuhan rambang menjadi beton, hal yang semestinya dapat ditata dengan tetap menjaga kekhasan dermaga ulin itu dengan memolesnya menjadi lebih baik. Yang patut ditata adalah kawasan diseberang jalan pelabuhan rambang. Lahan kosong dan warung yang ada dikawasan tersebut dapat ditata menjadi ruang terbuka hijau yakni taman tempat bersantai. Apalagi dekat dengan kawasan itu, banyak hotel dan penginapan.

Tantangan terbesar dalam penataan kawasan tersebut adalah bagaimana konsep yang disusun bukan hanya menjadi “political will” semata. Lebih jauh bagaimana konsep yang disusun kelak dapat menjadi sebuah perencanaan yang dilaksanakan. Kelemahan utama dalam pembangunan di Indonesia bukan hanya pada perencanaannya yang tidak terpadu, tetapi juga pada tahap implementasinya. Lebih sulit lagi adalah menegakkan konsistensi dari rencana yang telah dibuat, terutama jika proyek ini akan menjadi proyek jangka panjang yang melewati pergantian beberapa walikota atau gubernur. Ini menjadi tantangan penataan kota di Indonesia secara umum dan bukan hanya di Palangkaraya.