Kamis, 11 Juni 2009

PERTUMBUHAN EKONOMI, LINGKUNGAN, DAN TRAGEDI KEPEMILIKAN BERSAMA*


Indikator yang umum dalam menilai tingkat kemajuan suatu negara atau wilayah adalah pertumbuhan ekonomi. Idealnya, saat pertumbuhan ekonomi terjadi, lingkungan tetap lestari. Kenyataan yang terjadi sering tidak seimbang, disaat pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, kerusakan lingkungan juga tinggi. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan ekonomi diraih dengan mengandalkan eksploitasi sumberdaya alam tanpa mengupayakan nilai tambah dan tidak dibarengi dengan investasi sumberdaya manusia. Terjadilah kemudian tragedi kepemilikan bersama.

Istilah tragedi kepemilikan bersama, mengacu pada tulisan Garret Hardin, Profesor Emeritus of Ecology University of Santa Barbara-California dalam Majalah Science edisi 162 yang terbit tahun 1968, Tragedy of the Commons. Tragedi kepemilikan bersama merupakan perangkap sosial yang biasanya berkaitan dengan masalah ekonomi yang menyangkut konflik antara kepentingan individu dengan barang milik umum.

Terjadinya tragedi kepemilikan bersama ini diakibatkan oleh pemikiran bahwa sumberdaya alam adalah milik semua orang yang telah diciptakan Tuhan, sehingga siapa saja dapat memanfaatkannya. Dalam logika sederhana, prinsif ini lebih kurang bermakna ”Kalau tidak saya manfaatkan sekarang, pasti ada orang lain yang juga akan memanfaatkannya.”

Konsep ini akhirnya membuat semua penduduk menggunduli hutan di Inggris pada masa revolusi industri dan mengubahnya menjadi padang penggembalaan untuk memelihara domba, karena tingginya permintaan wool dengan harga yang menguntungkan. Akibatnya eksploitasi hutan menjadi tidak terkendali dan menyebabkan hutan di Inggris mengalami penggundulan dengan sangat cepat dan berdampak buruk pada lingkungan.

Tragedi kepemilikan bersama merupkan metafora yang menggambarkan bahwa akses bebas dan ketidakterbatasan akan sumberdaya alam pada akhirnya akan menyebabkan malapetaka struktural yang tidak terelakkan terhadap sumberdaya tersebut berupa eksploitasi berlebihan (over-exploitation) yang menyebabkan habisnya sumberdaya tersebut. Malapetaka tersebut terjadi karena keuntungan dari ekploitasi hanya dinikmati oleh individu atau kelompok, sedangkan dampak dari eksploitasi akan terdistribusi ke semua orang yang juga memerlukan sumberdaya tersebut

Tragedi kepemilikan bersama itulah yang tampaknya telah mendorong terjadinya berbagai praktek illegal dalam penggunaan sumberdaya alam di Kalimantan Tengah, seperti illegal logging, illegal mining, bahkan illegal fishing. Tragedi ini pula yang menjadikan banyaknya pemerintah daerah yang ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayahnya dengan mempermudah ijin bagi investor asing maupun lokal untuk memanfaatkan sumberdaya alam. Kesannya kemudian adalah kita seperti sedang ”jual murah” sumberdaya alam, padahal pemulihan lingkungan memerlukan biaya mahal dengan waktu yang sangat panjang.

Bahwa sumberdaya alam harus dimanfaatkan dan digunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat memang amanah konstitusi, tetapi fungsi lingkungan harus tetap diperhatikan, termasuk daya dukung untuk dapat mempertahankan keamanan ekologis suatu wilayah. Begitupun hak bagi generasi yang akan datang untuk tetap menikmati lingkungan yang nyaman dan sumberdaya yang melimpah.

Pembangunan Berkelanjutan

Pertumbuhan ekonomi tidak akan berlangsung tanpa adanya lingkungan yang lestari. Dalam satu dua tahun atau dalam satu dekade bisa saja suatu daerah atau suatu negara mengalami pertumbuhan yang tinggi dengan mengandalkan sumberdaya alam yang tersedia. Namun jika akses ke eksploitasi sumberdaya alam ini menjadi bebas kontrol, maka sumberdaya alam tersebut akan dengan cepat habis. Tentu saja tidak benar-benar habis, karena umumnya suatu sumberdaya akan berhenti dieksploitasi jika secara ekonomis tidak menguntungkan lagi.

Memang ada faktor teknologi yang membuat pemakaian sumberdaya menjadi lebih hemat. Dengan teknologi manusia juga mampu memanfaatkan sumberdaya alternatif untuk mengurangi ketergantungannya pada sumberdaya tertentu. Namun demikian teknologi itu mahal dan sulit dijangkau bagi kebanyak negara serta memiliki resiko sendiri. Misalnya penggunaan biofuel dianggap dapat mengurangi ketergantungan kepada bahan bakar fosil, namun pada sisi lain pembukaan perkebunan besar-besaran untuk bahan biofuel tersebut menyebabkan pembukaan hutan dan mengancam kelestarian lingkungan.

Jadi ketika dapat bangga bahwa dalam krisis keuangan global saat ini kita masih mencatat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, kita patut merenungi: darimana sumber pertumbuhan itu? Apakah hanya didorong oleh sektor konsumsi ataukah didorong oleh pengorbanan sumberdaya alam?

Memang, ekonomi konvensional hanya mengukur faktor-faktor yang wujud dan terukur (tangible). Padahal pada kenyataan setiap aktivitas (ekonomi) menimbulkan eksternalitas baik positif maupun negatif. Sehingga dengan tidak dimasukkannya external cost dalam analisis ekonomi berdampak pada terjadinya degradasi lingkungan. Munculnya kesadaran akan pentingnya lingkungan menyebabkan kegiatan ekonomi harus melakukan proses intenalizing external cost dan external benefit. Inilah kerangka fikir yang mendasari perlunya perhitungan korbanan lingkungan dalam mengukur pertumbuhan ekonomi yang sering disebut sebagai Green PDRB atau PDRB Hijau.

Kabarnya mulai tahun depan, pemerintah akan mulai melakukan perhitungan PDRB hijau. Ini artinya bahwa pertumbuhan ekonomi yang kita capai dengan menghitung ”PDRB coklat” selama ini, akan dikoreksi oleh biaya atau korbanan yang harus ditanggung akibat rusaknya sumberdaya alam. Sehingga daerah yang pertumbuhannya tinggi, tetapi dicapai dengan ”mengorbankan” sumberdaya alam, bisa jadi justeru mengalami pertumbuhan negatif. Dengan demikian, mudah-mudahan tragedi kepemilikan bersama yang pernah terjadi di Inggris, tidak akan kita kita teruskan lagi di Kalimantan maupun di Indonesia.

*telah dipublikasikan di Harian Borneonews 11 Mei 2009. By Normansyah..

Selasa, 09 Juni 2009

SAMPIT....................dalam foto.





Bagi yang belum pernah ke sampit atau membayangkan sampit sebagai kota yang mengerikan. Hapus kesan itu. Beginilah kira-kira sampit sekarang ....

Menanam Sawit di Tengah Hutan (Kebijakan Sawit Berkelanjutan dan Pelestarian Hutan)

Pendahuluan

Maraknya pembukaan perkebunan sawit di Kalimantan Tengah menimbulkan harapan sekaligus kecemasan. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi sekaligus mengancam kelestarian sumberdaya alam. Betapa tidak, pada tahun 2007 saja terdapat 653.961,47 ha kebun sawit di luas Kalimantan Tengah. Perkebunan Sawit menggeser peran kehutanan yang kontribusinya terhadap PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) kian merosot.

Perubahan lahan yang semula terdiri atas hutan sekunder ataupun belukar yang terisi berbagai jenis tumbuhan, kini berubah menjadi tanaman sejenis, monokultur. Sejauh mata memandang, hanya sawit dan sawit pada bentang lahan puluhan ribu hektar. Ancaman pertama adalah hilangnya sumber keragaman hayati, tergusurnya fauna dari tempat tinggalnya, dan hilangnya tempat berladang ataupun berburu masyarakat setempat.

Harapan sawit akan meningkatkan pendapatan masyarakat, menambah pendapatan asli daerah (PAD), serta termanfaatkannya lahan yang dianggap terlantar, harus ditukar dengan perubahan bentang lahan. Akibatnya bisa ditebak. Terjadi pergeseran lingkungan, aktivitas masyarakat, sampai pada datangnya budaya baru ke masyarakat agraris tradisional yang biasanya merupakan pekerja mandiri yang memiliki tradisi tersendiri. Semudah itukah mereka merubah kebiasaan yang sudah tertanam puluhan atau ratusan tahun, sebagaimana mudahnya investor menebas lahan dan menanam sawit?

Malangnya, lahan untuk menanam sawit terus bertambah seiring dengan meningkatnya permintaan dunia akan crude palm oil (CPO) serta produk turunannya di pasar dunia. Akibatnya permintaan akan kebutuhan lahan semakin meningkat, dan ini menyebabkan beberapa kawasan hutan diubah, mendesak ladang dan kebun penduduk, serta ada laporan meniadakan hutan adat masyarakat setempat. Desa-desa terkepung oleh sawit yang menjanjikan rupiah.

Hutan dan Sawit Berdampingan

Masuknya investor dalam upaya menggenjot aktivitas ekonomi di daerah tidak diimbangi dengan kesiapan pemerintah daerah dalam menyiapkan kerangka regulasi dan pola pengembangan yang memihak rakyat ataupun lingkungan. Ini terlihat dari belum rampungnya RTRWP (Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi) Kalteng. Juga tidak adanya batas desa yang jelas sebagai ”sabuk desa” yang merupakan wilayah okupansi bagi masyarakat setempat untuk mempertahankan pencaharian serta tradisinya. Akibatnya ladang dan kebun penduduk terancam, pengembangan pertanian tanaman pangan di masa depan juga menjadi tanda tanya besar. Demikian pula pengembangan desa, dua atau tiga generasi kedepan. Karena sawit berproduksi sampai usia 30-an tahun dan penguasaan lahannya dapat mencapai 90-an tahun.

Hal lain yang belum siap adalah data lengkap tentang potensi lahan, jenis tanah, dimana yang berhutan dan dimana yang semak, data danau dan rawa, serta dimana yang bergambut. Daerah misalnya tidak tahu persis dimana tanah subur yang potensial untuk tanaman pangan, daerah mana yang bergambut cukup tebal, dan daerah mana yang danau maupun rawanya perlu dilindungi.

Daerah juga belum punya konsep pengembangan kelapa sawit yang pro-rakyat. Belum ada aturan yang jelas untuk mengikutsertakan masyarakat setempat untuk ikut menikmati masuknya perkebunan besar itu dalam konsep pemberdayaan yang sekaligus pemandirian ekonomi. Konsep inti-plasma, community development (CD), ataupun corporate social responsibility (CSR) masih belum matang digodok sebelum ijin diberikan. Sehingga semua program itu diserahkan kepada perusahaan.

Jika memungkinkan, sebenarnya pemerintah daerah dapat me-nol-kan biaya perijinan sawit dan upaya memperoleh lahan, dengan konsekuensi biaya untuk pengurusan ijin tersebut ditanggung pemerintah daerah dan dijadikan saham pemerintah daerah. Jika untuk ijin tersebut dianggap saham pemerintah daerah 10% saja, maka bayangkan besarnya PAD yang didapat. Pemerintah dapat PAD, rakyat dapat pendapatan, perusahaan dapat lahan dan beroperasi dengan nyaman.

Itu secara ekonomi. Secara lingkungan, setiap kabupaten/kota di Kalteng harusnya tetap komitmen mempertahankan luas hutannya sekitar 40% atau lebih dari luas wilayahnya. Kenapa? Sebab walaupun ketentuannya minimal 30%, akan tetapi kekhasan daerah ini perlu dipertahankan, termasuk kekhasan geografis daerah yang berbeda dengan daerah lain. Apalagi saat daerah lain ataupun negara lain sudah tidak memiliki hutan, kita dapat berbangga dan harus visioner melihat peluangnya di masa depan.

Untuk kawasan bergambut yang kedalamannya lebih dari dua meter sebaiknya dibiarkan menjadi hutan, sebab gambut itu khas dan unik. Kita belum memahami sepenuhnya sifat-sifat gambut, sehingga amat beresiko jika kita terburu-buru menanaminya dengan sawit. Apalagi membuat kanal-kanal yang tidak mengindahkan sifat gambut itu. Proyek Lahan Gambut (PLG) sejuta hektar memberi kita pelajaran yang cukup banyak. Demikian juga dengan hutan rawa, danau, dan anak-anak sungai kita, harusnya kita jaga.

Jika terpaksa harus membuka lahan gambut, maka luasannya per hamparan sebaiknya jangan lebih dari 2.500 ha. Jadi kalau ada perusahaan perkebunan minta ijin membuka lahan 10.000 ha, itu akan terbagi dalam empat kawasan (estate) yang terpisah dan tidak berada dikawasan yang selayaknya kita lindungi. Diantara perkebunan itu tersisa hutan untuk singgah dan hidupnya satwa dan melindungi keanekaragaman hayati kita. Tersisa ladang, kebun, dan hutan masyarakat. Terlindungi gambut dan perairan kita. Sedangkan antara hutan itu terhubung dengan koridor yang menghubungkan antar hutan sehingga memungkinkan terjadinya migrasi dan dispersal fauna. Tentu saja konsep ini hanya dapat dikembangkan di kawasan pengembangan produksi (KPP) dan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). Jadi daripada mengubah kawasan hutan produksi (HP) menjadi KPP, kenapa kedua konsep ini disatukan. Sawit dan hutan tumbuh bersama. Perusahaan dan masyarakat tumbuh sejalan. Utopia?

Belum Terlambat

Semua tampaknya telah lewat. Kebun sawit bertebaran laksana ”rumput mengalahkan benua”. Tetapi belum terlambat. Kalimantan Tengah masih punya harapan untuk lebih baik. Syaratnya, semua pihak baik pemerintah daerah dan perusahaan perkebunan berkomitmen untuk menyertakan masyarakat setempat dalam menikmati ”manisnya” buah sawit. Kepedulian lingkungan harus ditumbuhkan dengan memperbaiki apa yang mungkin selama ini diabaikan.

Pemerintah daerah perlu lebih memahami realitas yang terjadi pada masyarakatnya dengan duduk bersama, bersila, dan mendengarkan apa yang yang dikeluhkan dan diperlukan masyarakat setempat untuk membangun kebersamaan yang lebih baik.

*Normansyah (mantan aktivis pers kampus)